MAKALAH
SEJARAH
LAHIRNYA UU NO 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Disusun Untuk :
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum
Semester I
OLEH
:
FESDIAMON
MAGISTER
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2012
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
RUMUSAN MASALAH 4
SEJARAH LAHIRNYA KORUPSI 4
SEJARAH LAHIRNYA
LEMBAGA KOMISI PUMBERNTASAN KORUPSI 9
IUS
CONSTITUENDUM UU 30 TAHUN 2012 12
PENDAPAT
TOKOH-TOKOH NASIONAL TENTANG KPK 15
KESIMPULAN 17
DAFTAR
PUSTAKA 18
SEJARAH
LAHIRNYA
UNDANG-UNDANG
NO 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A.
PENDAHULUAN.
Tindak
pidana korupsi terjadi hampir diseluruh negara berkembang di muka bumi ini.Termasuk
Indonesia, korupsi selalu menjadi kendala lambatnya laju pembangunan negara.
Baik dari segi ekonomi, pendidikan, politik dan demokrasi, serta budaya.
Di Indonesia,
korupsi bukanlah hal baru yang menjadi penghalang lajunya pembangunan negara .
Koruptor selalu di vonis bersalah oleh publik sebagai orang yang bertanggung jawab
atas mandegnya pembangunan negara. Berbagai upaya telah di lakukan untuk
menaggulangi tindak pidana korupsi di negara ini. Di antaranya di keluarkananya
undang – undanng TIPIKOR beserta lembaga peradilannya. Di antara undang- undang
yang telah di keluarkan adalah undang-undang nomor 28 tahun 1999, undang –
undang 31 tahun 1999, undang-undang 20 tahun 2001, undang – undang nomor 7
tahun 2006, dan undang-undang 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembetantasan
Korupsi yang di berikan wewenang penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan.
Tindak pidana
korupsi telah menjadi musuh bersama dunia. Ini terbukti dengan adanya UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION,
2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG KORUPSI, 2003).[1]
Dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang korupsi, 2003). Di tegaskan bahwa, negara-negara pada
konvensi ini prihatin pada ancaman serta akibat yang di timbulkan oleh tindak
pidana korupsi. Berikut adalah bentuk ancama tindak pidana korupsi yang
termaktub dalam Bab Pembukaan United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang korupsi, 2003) ;
“Prihatin
atas
keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi, terhadap stabilitas
dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi,
nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan
dan penegakan hukum, Prihatin juga
atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya
kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, Prihatin
lebih lanjut atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah aset yang besar
yang dapat merupakan bagian penting sumber-daya Negara, dan yang mengancam stabilitas
politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara tersebut “.[2]
Jelaslah bahwa,
korupsi terjadi hampir di seluruh negara, terutama negara berkembang. Korupsi telah dipastikan dapat mengancam
serta merusak tatanan peradaban suatu negara. Bagaimanapun kuatnya suatu
negara, apabila masih ada tindak pidana korupsi, maka korupsi akan menjadi bom
waktu bagi kehancuran negara tersebut.
Kita kembali
pada korupsi yang terjadi di indonesia. Menurut saya untuk mengatasi tindak
pidana korupsi perlu adanya kodifikasi hukum yang jelas dan tidak tumpang
tindih mengenai upaya prefentiv terhadap tindak pidana korupsi. Serta tentang
lembaga pemasyarakatan khusus tindak pidana korupsi.
Lembaga peradilan
dan putusan hakim merupakan penentu dalam pelaksanaan perundang- undangan dalam
suatu negara. Dalam makalah ini saya akan menulis tentang sejarah lahirnya
Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejarah hukum
sangat penting untuk kita kaji. Ini di karenakan hukum berfungsi untuk
membangun masyarakat. Maka dalam lapangan hukum antara hukum yang sedang
berlaku dan hukum pada masa lalu erat sekali hubungannya. Dalam makalah ini
akan saya kupas sejarah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini sangat
penting kita kaji, karena menurut saya Indonesia saat ini sudah sangat terpuruk
dalam kemajuan pembangunan. Ini di karenakan gagalnya negara dalam mengatasi
tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin menjamur di negri ini. Dengan
di keluarkannya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang merupakan tulang punggung
negara dalam menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi, belum juga
memperlihatkan hasil yang signifikan. Ada apa dengan perundang-undangan serta
lambaga peradilan yang ada di negeri ini? Pada makalah ini selain akan di bahas
tentang sejarah lahirnya UU No 30 tahun 2002 terlebih dahulu penulis akan
mengemukakan sekilas tentang sejarah korupsi itu sendiri. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Selasa, 24 APRIL
2012
PENYUSUN
FESDIAMON
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1.
Mengapa UU No 30 tahun
2003 di buat ?
2.
Bagaimana hukum
terhadap tindak pidana korupsi untuk masa yang akan datang ( Ius constituendum ).
C.
SEJARAH LAHIRNYA
KORUPSI
Salah
satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah
“sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan
di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan
tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama
kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh
pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya
menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang
menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas
Negara, dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada
segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat
terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting
mengapa korupsi begitu sangat mudah tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada
sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi
yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari
bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran
masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan
social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter
tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan
hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala
Dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh
kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal
pemerintahan ini pun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya
diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya,
masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes
akibat dominannya kekuasaan yang terjadi.
Akibatnya,
budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan
prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi
Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yang tak sedikit dalam
pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah
biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan
saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat
jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan
kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar
dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan
membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan,
akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa
untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak
masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum
untuk menumpas koruptor di Negara kita.
Jika
dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas dari mana awal praktek
korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan
pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya
telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system
pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan,
pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari
kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dan lain
sebagainya).
Secara
garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga)
fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase
tersebut.
Pertama,
Fase Zaman Kerajaan.[3]
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya
kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat
Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan
Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dan lain sebagainya, mengajarkan
kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang
berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita
ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan
“Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan
kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.[4]
Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang
lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini,
cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal
tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada
akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan
pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua,
Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk
dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi
telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350
tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja
dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif
tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau
provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang
suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah teritorial
tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen
upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya
diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Ketiga,
Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti
sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi, budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak
serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku
pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama
Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan
Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang
cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi
praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini. Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural
yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa
tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran
Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi
menjadi hancur dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat
harga-harga kebutuhan masyarakat kian melambung tinggi.
Kita
tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998
lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu
adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde
Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi
dikatakan sebagai bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara,
dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas,
merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi
Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap darah
bagi rakyatnya sendiri.
Relasi
politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh
tidak seimbang. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan
pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang
semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM,
telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat
sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari
praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup. Salah satu fakta penting yang bisa
kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela
melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru
dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah
mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar hutang-hutang
luar negeri melalui IMF. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran hutang-hutang
Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran
hutang tersebut kepada rakyat Indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati
hutang-hutang tersebut. Membebankan dengan memilih, mencabut anggaran dan
subsidi sosial bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib
dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat
yang dikorbankan”!!!.
Dari
pemaparan di atas, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi
merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja
dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakatnya
sendiri.
Tidak
bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat
Negara yang semakin meningkat menjadikan masyarakat menarik dukungannya
terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap pemerintah
bisa dikatakan semakin menurun. Bahkan, cenderung apatis terhadap pemerintah
beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya).
Hal inilah yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK diharapkan mampu
menjadi ujung tombak bangsa ini dalam melawan korupsi. Namun, kelahiran KPK
banyak menimbulkan spekulasi opini tentang keberadaan KPK yang dianggap inkonstitusional
.
D.
SEJARAH LAHIRNYA
LEMBAGA KOMISI PUMBERNTASAN KORUPSI
Komisi
Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002. Tututan reformasi
menjadi salah satu alasan lembaga ini di bentuk. Tidak efektif dan efisiennya
lembaga penegak hukum yang ada dalam memberantas tindak pidana korupsi juga
menjadi alasan lahirnya KPK. Sebelun lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Negara kita juga telah memiliki undang-undang tentang tindak pidana korupsi.
Antara lain adalah UU NO 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme
, UU NO 31 Tahun 1999, UU NO 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah adanya UU NO 30 tahun 2002,
adalagi UU NO 7 Tahun 2006. Selain
adanya undang-undang tersebut diatas, negara kita juga pernah memiliki
lembaga-lembaga khusuh TIPIKOR. Berikut
enam lembaga negara yang pernah di bentuk dan berhubungan dengan tindak pidana
korupsi .[5]
1.
Tim Pemberantasan Korupsi
Tim
ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang
bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
2.
Komisi Empat (Januari-Mei 1970)
Dibentuk
melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi
pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen
administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah. Selain
Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite
Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan
kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
3.
Operasi Penertiban (1977-1981)
Dibentuk
melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban
uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
4.
Tim Pemberantas Korupsi (1982)
Tim
Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya
Keppres baru.
5.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Dibentuk
melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan
pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi sub bagian pencegahan dalam
Komisi Pemberantasan Korupsi.
6.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001)
Dibentuk
melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit
ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (juducial
review) Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar.
Dari
uraian diatas, dapat kita pahami bahwa keingingan negara ini untuk bebas dari
perangkap korupsi sangatlah kuat. Namun, dari sekian banyak lembaga yang ada,
tidak ada lembaga yang khusus mengupayakan upaya pencegahan terhadap tindak
pidana korupsi kecual Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (1999). Akibatnya, korupsi sampai
saat ini tak kunjung berhenti. Bahkan semakin menjadi-jadi bagai bola salaju (snow bool). Berbagai alasanpun muncul
menyikapi persoalan korupsi yang tiada hentinya di negri ini. Ada yang
menyebutkan bahwa ini di sebabkan karena persoalan moralitas, persoalan tumpang
tindih kewanangan antara lembaga penegak hukum, persoalan warisan budaya dari
penguasa-penguasa sebelumnya dan lain sebagainya.
Apapun
alasannya, yang jelas bangsa ini terkesan tidak akan mungkin bisa lepas dari
masalah korupsi. Bahkan, wacana hukuman matipun bagi para koruptor muncul untuk
mengekspresikan kekecewaan rakyat terhadap lembaga penegak hukum dan yang ada
di Indonesia. Apa yang salah dengan
ideologi bangsa kita? Kita tidak mampu untuk menegakan pilar-pilar ideologi
untuk kemajuan pearadaban kita.
Dahulu
korupsi hanya di lakukan oleh pejabat-pejabat senayan. Namun sekarang semenjak
adanya undang-undang otonomi daerah, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah
daerah sampai pejabat desa banyak yang
tersandung kasus korupsi. Kalau sudah seperti ini, apakah kita masih
menyalahkan UU yang di buat penguasa? Padahal tujuan dari otonomi daerah salah
satunya adalah percepatan pembangunan, bukan penghambatan pembangunan daerah.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003 berdasarkan
UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU
tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK
memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi penggerak
perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki
lima juga tugas utama yaitu :
1. Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2. Koordinasi
3. Supervisi
4. Pencegahan
5. Monitoring
Diawal
berdirinya, KPK dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki yang dilantik pada
tanggal 16 Desember 2003 bersama empat Pimpinan KPK lainnya, yaitu
Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak H. Panggabean, dan Erry Riyana
Hardjapamekas.[6]
Di
masa awal berdirinya KPK, bisa dikatakan modalnya adalah “Nol Besar”. Para
Pimpinan KPK dilantik tanpa gedung kantor untuk bisa bekerja dan tanpa
karyawan. Mereka bahkan membawa staf dari kantor lamanya masing-masing dan
menggajinya sendiri. Tak berapa lama, baru muncul tim dari BPKP yang
menjadi karyawan pertama di KPK. Waktu berlalu dan tim tambahan dari
Kejaksaan maupun Kepolisian, mulai datang untuk bekerja di KPK.
Demikianlah
sekilas tentang kemunculan KPK di Indonesia. Eksistentensi KPK di harapkan
dapat membersihkan negri ini dari korupsi. KPK di harapkan bebas dari
intervensi dalam bentuk apapun, serta tidak tebang pilih dalam mengusut kasus
korupsi. Semoga kedepan semua lembaga peradilan yang ada di Indonesia dapat
mewujudkan tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.
E.
IUS CONSTITUENDUM UU 30
TAHUN 2012.
Mempelajari
sejarah hukum amat penting untuk membentuk hukum saat ini dan yang akan datang
(Ius constituendum). Menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H “ Hukum
bersifat hidup, dinamis, berkembang dan selalu bergerak serasi dengan perubahan
masyarakat, maka didalam lapangan hukum antara hukum yang sedang berlaku denga
hukum dari masa yang lampau erat sekali hubungannya. Hukum yang dulu dan
sekarang tidak berdiri lepas satu sam lain. Itu semua tidak berarti bahwa hukum
yang sekarang harus selalu mengikuti jejak atau mengambil sumbernya pada hukum
dalam masa yang lampau. Meskipun demikian hubungan sebab musabab antara hukum
yang lama dengan yang baru ada, dimana yang baru merupakan reaksi terhadap yang
lama.[7]
Undang-
undang serta lembaga peradilan merupakan bagian dari keseluruhan tata hukum
suatu negara. Antara undang-undang dan
lembaga peradailan adalah satu kesatuan kekuatan hukum yang sistematis
untuk mencapai tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.
UU
30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu bentuk
produk hukum di negara kita yang menurut saya keberadaanya sangat di
butuhkankan oleh bangsa ini. Namun, KPK saat ini yang menurut sebagaian pakar
hukum berpendapat bahwa KPK adalah lembaga yang memiliki wewenang tinggi namun
inskonstitusinal. Karena tidak tercantum dalam UUD 1945 sebagai salah satu
lembaga negara. Oleh karena itu, kedepan KPK harus di undangkan dalam UUD 1945
sebagai lembaga peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi.
Penegakan
supremasi hukum khususnya di Indonesia, menurut saya sampai hari ini masih
sebatas wacana pembohongan publik dan pengangkaangan hukum positif, terutama
hukum publik yang merupakan bagian dari hukum nasional. Kalaulah sejarah hukum
sangat menetukan bagamana hukum kedepannya ( Ius constituendum ) tentulah setiap kejadian-kejadian hukum menjadi
salah satu faktor penting dalam pembentukan hukum di masa yang akan datang.
Tidak pidana korupsi misalnya, bangsa ini banyak sekali mempeti es kan kasus
korupsi yang sangat perpengaruh bagi sebuah catatan sejarah hukum TIPIKOR di
negara ini. Misalnya kasus korupsi mantan presiden RI H.M. Soeharto yang oleh
Jaksa Agung Abdurrahman Saleh telah mengeluarkan SKP3 (Surat Penghentian Penuntutan
Perkara) dengan alasan kesehatan dan HAM. Seperti yang di kutip dalam tulisan
Abdurrahman Saleh yakni “Memaksa
menghadirkan terdakwa yang sakit dan tidak mampu menjawab atau menuturkan isi
pikiran panjang lebih dari empat kata merupakan pelanggaran terhadap standar internasional
tentang hak asasi manusia...”.[8]
Dalam
menyikapi persoalan hukum yang telah berlalu. Kita di hadapkan oleh asas hukum
yang tidak berlaku surut. Meskipun pada sebagian undang-undang asas ini tidak
di berlakukan. Misalnya Undang- Undang Terorisme yang di undangkan untuk
menyelesaikan kasus yang telah terjadi. Kasus TIPIKOR H.M. Sueharto tidaklah
sama dengan kasus teroris, yang memang pada waktu itu belum ada undang-undang
yang mengaturnya. Namun, untuk kasus TIPIKOR kita telah memiliki undang-undang
yang jelas pada waktu lalu. Pada pendahuluan makalah ini saya telah menuliskan
beberapa undang-undang TIPIKOR dari zaman ke zaman di Indonesa.
Itulah
hukum yang merupakan produk dari kekuasaan yang sentralistik pada waktu terdahulu.
Abdurrahman Saleh banyak mengrasionalisaikan asumsi yang kemudian di jadikan
kepastian hukum dalam mengungkap kasus korupsi H.M.soeharto. Bukankah hukum itu
di peruntukkan untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik Interest), kepentingan sosial (social interest), dan kepentingan pribadi (privat interest). Meskipun di satu sisi, ada kepentingan
pribadi atau katakanlah HAM bagi
H.M.Soeharto. Namun, di sisi lain kita juga harus objektif dalam
memperandingkan tingakat persentase perlindingan kepentingan antar masyarakat,
sosial, dan pribadi. Agar tujuan hukum dapat tercapai dalam tindak pidana
korupsi.
Korupsi
merupakan bagian dari hukum publik yang bersifat pidana ( ultimatum remedium) . Hukum pidana tentulah terdapat sanksi yang
memang sedikit mengenyampingkan HAM, karna itu hukum pidana di sebut sebagai ultimatum remedium bukan premium remedium yang melindungi
kepentingan pribadi.
Kalaupun
kita mencoba untuk mempresentasikan hubungan antara kasus H.M. Soeharto ini
dengan sejumblah bentuk kepentingan perlindungan hukum. Menurut saya di samping
kepentingan pribadi yang juga merupakan hak dari perlindungan hukum, ada
kepentingan masyarakat dan sosial yang amat besar terhadap kasus korupsi ini.
Misalnya, masyarakat ingin tahu dimana letak kebocoran-kebocoran anggaran yang
telah menghambat lajunya pembangunan dan hutang yang melilit negara ini. Ini
tentulah amat sangat penting dalam upaya kita untuk bangkit dari keterpurukan.
Kemudian untuk mengetahui sindikat koruptor yang ada di negeri ini agar kedepan
kita mampu melakukan upaya prefentiv terhadap tindak pidana korupsi. Belum lagi,
rasa kecewa yang sampai hari ini masing bertahta di hati rakyat Indonesia.
Kalau sudah seperti ini, maka tujuan hukum untuk terciptannya ketertiban dan
keadilan tidak akan pernah terwujud.
Maka
dari itulah saya berpendapat bahwa kedepannya perlu adanya kodifikasi hukum
untuk khusus tindak pidana korupsi. Untuk dapat mengkodifikasikan hukum TIPIKOR
tersebut perlu adanya pengungkapan kasus – kasus korupsi terdahulu dalam kontek
penelitian hukum, meskipun kasus-kasus yang telah di tutup atau di batalkan
demi hukum atau terkendala asas hukum yang tidak berlaku surut. Namun,
pengungkapan hukum di sini tidak agi dalam arti untuk mencari kepastian hukum,
tapi lebih pada kajian historis untuk menemukan hukum di masa lalu agar dapat
menjadi referensi penemuan dan pembentukan hukum di masa yang akan datang.
Untuk
KPK saya memprediksikan kalo tidak segera di undangkan dalam UUD 1942, maka
kemungkinan KPK akan di bubarkan. Dan saya termasuk orang yang menginginkan KPK agar tetap ada di Indonesia,
hanya saja kedepan persoalan wewenang perlu untuk dikaji kembali agar tidak
tumpang tindih dengan lembaga peradilan yang lainnya. Serta mengenai kedudukan
yang harus jelas secara konstitusoinal.
F.
PENDAPAT TOKOH-TOKOH
NASIONAL TENTANG KPK
1.
Pengamat hukum, Denny
Idrayana (30 Desember 2006)
Mengatakan
sekakap-kakapnya tangkapan KPK tak akan jauh dari para koruptor kelas teri yang
berasal dari daerah-daerah, yang nominal korupsinya terbilang kecil. KPK hanya berani
menyentuh kepala daerah, KPK tak bakal berani menyentuh istana, Cendana,
senjata (militer) dan pengusaha naga (Cina).[9]
2.
Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi (31
Mei 2007)
Menilai perlu
ada perombakan pola pemberantasan korupsi sehingga menjadi lebih efektif dan
terarah.
Pemberantasan
korupsi yang berlangsung saat terkesan tidak dirancang secara serius sehingga
tidak berjalan secara sistematis dan tidak jelas target yang ingin dicapai.
Harusnya, pemberantasan korupsi ini suatu gerakan yang berlangsung serentak dan
langsung di bawah kendali presiden, bukan diserahkan pada satu komisi.
3.
Ketua Fraksi Partai
Golkar Priyo Budi Santoso (28 Juni 2007)
Mengatakan
partainya sedang mempertimbangkan kemungkinan mengevaluasi Komisi Pemberantasan
Korupsi. Karena banyak yang menganggap Komisi ini sebagai super body, dengan
kewenangan yang besar sekali.
4.
Marwan Effendi,
Kapusdiklat Kejaksaan Agung (7 September 2007)
Mengatakan hukum
bukan sarana untuk menjatuhkan orang-orang tertentu. Hukum berorientasi pada
kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Oleh karena itu, kalau KPK ingin
menjadi lembaga penegak hukum yang terpercaya dan independen, semua kegiatannya
harus berlandaskan hukum. KPK harus bersih dari kepentingan politik dan ekonomi.
Untuk lebih memberdayakan KPK ke depan, pemberantasan korupsi harus ada
sinkronisasi substansial sehingga tidak ada lagi multitafsir mengenai
pengertian korupsi di antara sesama institusi penegak hukum. Arah penindakan
harus terfokus, karena KPK bukan jaring trawl di dalam penegakan hukum,
mengingat keterbatasan sumber daya manusianya.[10]
Mengamati
pendapat-pendapat tokoh dari berbagai latar belakang diatas, mulai dari pakar
hukum, politisi, sampai pemuka Agama. Kesemua pendapat di atas mengemukakan
kekecawaan serta harapan terhadap KPK untuk dapat efektif dan efesien dalam
memberantas korupsi di negri ini. Pendapat yang berbeda dalam persoalan
penafsiran tentang hukum ataupun pruduk hukum, adalah hal yang wajar dalam
dunia ilmah atau akademis. Normologi dan nomologi sangat sulit untuk kita
satukan menjadi suatu yang nyata untuk kebaikan.
Tak dapat kita
pungkiri bahwa perbedaan-perbedaan yang seharusnya membawa manfaat bagi kita
malah menjadi mudorat bagi bangsa ini. Perbedaan – perbedaan pendapat dalam
penafsiran hukum telah menjadi celah baru bagi koruptor untuk melancarkan
aksinya.
Menurut saya
kehadiran KPK di negri ini, telah menjadi kambing hitam di tengah
konspirasi-konspirasi penguasa yang amat mengerikan bagi bangsa ini. Maka dari
itu, kedepan amat penting untuk kita mengupas seluruh persoalan korupsi yang
pernah terjadi di masa lampau, untuk di jadikan referensi demi hukum TIPIKOR
yang lebih baik di masa yang akan datang.
G.
KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas,
dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan. Yakni :
1.
Mempelajari sejarah
hukum sangatlah penting untuk menentukan hukum saat ini dan hukum dimasa yang akan datang.
2.
Lahirnya KPK dengan di
keluarkannya UU NO 30 tahun 2002, di sebabkan karena lembaga peradilan yang
lainnya di nilai belum efektif dan efisien
dalam memberantas korupsi .
3.
Untuk menentukan hukum
tindak pidana korupsi dimasa yang akan datang, perlu adanya pengungkapan
terhadap kasus-kasus korupsi yang terdahulu. Sehingga kodifikasi hukum TIPIKOR
untuk masa yang akan datang dapat di lakukan dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Kumpulan undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Edisi pertama.
2006.
Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi
Di Indonesia.
Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
[2] Bab Pembukaan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentankorupsi, 2003)
[7] Sejarah Peradilan Dan
Perundang-undangannya di Indonesia sejak tahun 1942 Dan Apakah Kemanfaatanya
bagi kita bangsa Indonesia.
Hal : 9
[9]http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=25191