Minggu, 27 Mei 2012

SEJARAH LAHIRNYA UU NO 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


MAKALAH
SEJARAH LAHIRNYA UU NO 30 TAHUN 2002 TENTANG
 KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Disusun Untuk :
 Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum Semester I













OLEH :
FESDIAMON




MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2012










DAFTAR ISI

            PENDAHULUAN                                                                                           1

            RUMUSAN MASALAH                                                                                 4

            SEJARAH LAHIRNYA KORUPSI                                                                4

            SEJARAH LAHIRNYA
LEMBAGA KOMISI PUMBERNTASAN KORUPSI                                   9

           IUS CONSTITUENDUM UU 30 TAHUN 2012                                            12

           PENDAPAT TOKOH-TOKOH NASIONAL TENTANG KPK                    15

          KESIMPULAN                                                                                               17

           DAFTAR PUSTAKA                                                                                      18 









SEJARAH LAHIRNYA
UNDANG-UNDANG NO 30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

A.     PENDAHULUAN.
Tindak pidana korupsi terjadi hampir diseluruh negara berkembang di muka bumi ini.Termasuk Indonesia, korupsi selalu menjadi kendala lambatnya laju pembangunan negara. Baik dari segi ekonomi, pendidikan, politik dan demokrasi, serta budaya.
Di Indonesia, korupsi bukanlah hal baru yang menjadi penghalang lajunya pembangunan negara . Koruptor selalu di vonis bersalah oleh publik sebagai orang yang bertanggung jawab atas mandegnya pembangunan negara. Berbagai upaya telah di lakukan untuk menaggulangi tindak pidana korupsi di negara ini. Di antaranya di keluarkananya undang – undanng TIPIKOR beserta lembaga peradilannya. Di antara undang- undang yang telah di keluarkan adalah undang-undang nomor 28 tahun 1999, undang – undang 31 tahun 1999, undang-undang 20 tahun 2001, undang – undang nomor 7 tahun 2006, dan undang-undang 30 tahun 2002 tentang Komisi Pembetantasan Korupsi yang di berikan wewenang penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan.
Tindak pidana korupsi telah menjadi musuh bersama dunia. Ini terbukti dengan adanya UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENENTANG KORUPSI, 2003).[1]
Dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang korupsi, 2003). Di tegaskan bahwa, negara-negara pada konvensi ini prihatin pada ancaman serta akibat yang di timbulkan oleh tindak pidana korupsi. Berikut adalah bentuk ancama tindak pidana korupsi yang termaktub dalam Bab Pembukaan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang korupsi, 2003) ;
Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi, terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum, Prihatin juga atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, Prihatin lebih lanjut atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber-daya Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara tersebut “.[2]
Jelaslah bahwa, korupsi terjadi hampir di seluruh negara, terutama negara berkembang.  Korupsi telah dipastikan dapat mengancam serta merusak tatanan peradaban suatu negara. Bagaimanapun kuatnya suatu negara, apabila masih ada tindak pidana korupsi, maka korupsi akan menjadi bom waktu bagi kehancuran negara tersebut.
Kita kembali pada korupsi yang terjadi di indonesia. Menurut saya untuk mengatasi tindak pidana korupsi perlu adanya kodifikasi hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih mengenai upaya prefentiv terhadap tindak pidana korupsi. Serta tentang lembaga pemasyarakatan khusus tindak pidana korupsi.
Lembaga peradilan dan putusan hakim merupakan penentu dalam pelaksanaan perundang- undangan dalam suatu negara. Dalam makalah ini saya akan menulis tentang sejarah lahirnya Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejarah hukum sangat penting untuk kita kaji. Ini di karenakan hukum berfungsi untuk membangun masyarakat. Maka dalam lapangan hukum antara hukum yang sedang berlaku dan hukum pada masa lalu erat sekali hubungannya. Dalam makalah ini akan saya kupas sejarah lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini sangat penting kita kaji, karena menurut saya Indonesia saat ini sudah sangat terpuruk dalam kemajuan pembangunan. Ini di karenakan gagalnya negara dalam mengatasi tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin menjamur di negri ini. Dengan di keluarkannya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang merupakan tulang punggung negara dalam menyelesaikan masalah tindak pidana korupsi, belum juga memperlihatkan hasil yang signifikan. Ada apa dengan perundang-undangan serta lambaga peradilan yang ada di negeri ini? Pada makalah ini selain akan di bahas tentang sejarah lahirnya UU No 30 tahun 2002 terlebih dahulu penulis akan mengemukakan sekilas tentang sejarah korupsi itu sendiri. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.








Selasa, 24 APRIL 2012
                                                                                       PENYUSUN


  FESDIAMON








B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Mengapa UU No 30 tahun 2003 di buat ?
2.      Bagaimana hukum terhadap tindak pidana korupsi untuk masa yang akan datang ( Ius constituendum ).

C.     SEJARAH LAHIRNYA KORUPSI
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudah tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala Dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan ini pun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi.
Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yang tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita.
Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas dari mana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dan lain sebagainya).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan.[3] Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dan lain sebagainya, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.[4] Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah teritorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.  
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi, budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi hancur dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakat kian melambung tinggi.
Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebagai bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap darah bagi rakyatnya sendiri.
Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup. Salah satu fakta penting yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar hutang-hutang luar negeri melalui IMF. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran hutang-hutang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran hutang tersebut kepada rakyat Indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati hutang-hutang tersebut. Membebankan dengan memilih, mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!.
Dari pemaparan di atas, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakatnya sendiri.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara yang semakin meningkat menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun. Bahkan, cenderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Hal inilah yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK diharapkan mampu menjadi ujung tombak bangsa ini dalam melawan korupsi. Namun, kelahiran KPK banyak menimbulkan spekulasi opini tentang keberadaan KPK yang dianggap inkonstitusional .

D.     SEJARAH LAHIRNYA LEMBAGA KOMISI PUMBERNTASAN KORUPSI
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002. Tututan reformasi menjadi salah satu alasan lembaga ini di bentuk. Tidak efektif dan efisiennya lembaga penegak hukum yang ada dalam memberantas tindak pidana korupsi juga menjadi alasan lahirnya KPK. Sebelun lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Negara kita juga telah memiliki undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Antara lain adalah UU NO 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme , UU NO 31 Tahun 1999, UU NO 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah adanya UU NO 30 tahun 2002, adalagi UU NO 7 Tahun 2006.  Selain adanya undang-undang tersebut diatas, negara kita juga pernah memiliki lembaga-lembaga khusuh TIPIKOR. Berikut enam lembaga negara yang pernah di bentuk dan berhubungan dengan tindak pidana korupsi .[5]
1.      Tim Pemberantasan  Korupsi
Tim ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
2.      Komisi Empat (Januari-Mei 1970)
Dibentuk melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah. Selain Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
3.      Operasi Penertiban (1977-1981)
Dibentuk melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
4.      Tim Pemberantas Korupsi (1982)
Tim Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya Keppres baru.
5.      Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Dibentuk melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi sub bagian pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
6.      Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001)
Dibentuk melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (juducial review) Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar.

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa keingingan negara ini untuk bebas dari perangkap korupsi sangatlah kuat. Namun, dari sekian banyak lembaga yang ada, tidak ada lembaga yang khusus mengupayakan upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi kecual Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999). Akibatnya, korupsi sampai saat ini tak kunjung berhenti. Bahkan semakin menjadi-jadi bagai bola salaju (snow bool). Berbagai alasanpun muncul menyikapi persoalan korupsi yang tiada hentinya di negri ini. Ada yang menyebutkan bahwa ini di sebabkan karena persoalan moralitas, persoalan tumpang tindih kewanangan antara lembaga penegak hukum, persoalan warisan budaya dari penguasa-penguasa sebelumnya dan lain sebagainya.
Apapun alasannya, yang jelas bangsa ini terkesan tidak akan mungkin bisa lepas dari masalah korupsi. Bahkan, wacana hukuman matipun bagi para koruptor muncul untuk mengekspresikan kekecewaan rakyat terhadap lembaga penegak hukum dan yang ada di Indonesia. Apa  yang salah dengan ideologi bangsa kita? Kita tidak mampu untuk menegakan pilar-pilar ideologi untuk kemajuan pearadaban kita.
Dahulu korupsi hanya di lakukan oleh pejabat-pejabat senayan. Namun sekarang semenjak adanya undang-undang otonomi daerah, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah daerah  sampai pejabat desa banyak yang tersandung kasus korupsi. Kalau sudah seperti ini, apakah kita masih menyalahkan UU yang di buat penguasa? Padahal tujuan dari otonomi daerah salah satunya adalah percepatan pembangunan, bukan penghambatan pembangunan daerah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki lima juga tugas utama yaitu :
1.    Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2.    Koordinasi             
3.    Supervisi
4.    Pencegahan
5.    Monitoring
Diawal berdirinya, KPK dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki yang dilantik pada tanggal 16 Desember 2003 bersama empat Pimpinan KPK lainnya, yaitu Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak H. Panggabean, dan Erry Riyana Hardjapamekas.[6]
Di masa awal berdirinya KPK, bisa dikatakan modalnya adalah “Nol Besar”. Para Pimpinan KPK dilantik tanpa gedung kantor untuk bisa bekerja dan tanpa karyawan. Mereka bahkan membawa staf dari kantor lamanya masing-masing dan menggajinya sendiri. Tak berapa lama, baru muncul tim dari BPKP yang menjadi karyawan pertama di KPK. Waktu berlalu dan tim tambahan dari Kejaksaan maupun Kepolisian, mulai datang untuk bekerja di KPK.
Demikianlah sekilas tentang kemunculan KPK di Indonesia. Eksistentensi KPK di harapkan dapat membersihkan negri ini dari korupsi. KPK di harapkan bebas dari intervensi dalam bentuk apapun, serta tidak tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi. Semoga kedepan semua lembaga peradilan yang ada di Indonesia dapat mewujudkan tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.

E.      IUS CONSTITUENDUM UU 30 TAHUN 2012.
Mempelajari sejarah hukum amat penting untuk membentuk hukum saat ini dan yang akan datang (Ius constituendum). Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H “ Hukum bersifat hidup, dinamis, berkembang dan selalu bergerak serasi dengan perubahan masyarakat, maka didalam lapangan hukum antara hukum yang sedang berlaku denga hukum dari masa yang lampau erat sekali hubungannya. Hukum yang dulu dan sekarang tidak berdiri lepas satu sam lain. Itu semua tidak berarti bahwa hukum yang sekarang harus selalu mengikuti jejak atau mengambil sumbernya pada hukum dalam masa yang lampau. Meskipun demikian hubungan sebab musabab antara hukum yang lama dengan yang baru ada, dimana yang baru merupakan reaksi terhadap yang lama.[7]
Undang- undang serta lembaga peradilan merupakan bagian dari keseluruhan tata hukum suatu negara. Antara undang-undang dan  lembaga peradailan adalah satu kesatuan kekuatan hukum yang sistematis untuk mencapai tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.
UU 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu bentuk produk hukum di negara kita yang menurut saya keberadaanya sangat di butuhkankan oleh bangsa ini. Namun, KPK saat ini yang menurut sebagaian pakar hukum berpendapat bahwa KPK adalah lembaga yang memiliki wewenang tinggi namun inskonstitusinal. Karena tidak tercantum dalam UUD 1945 sebagai salah satu lembaga negara. Oleh karena itu, kedepan KPK harus di undangkan dalam UUD 1945 sebagai lembaga peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi.
Penegakan supremasi hukum khususnya di Indonesia, menurut saya sampai hari ini masih sebatas wacana pembohongan publik dan pengangkaangan hukum positif, terutama hukum publik yang merupakan bagian dari hukum nasional. Kalaulah sejarah hukum sangat menetukan bagamana hukum kedepannya ( Ius constituendum ) tentulah setiap kejadian-kejadian hukum menjadi salah satu faktor penting dalam pembentukan hukum di masa yang akan datang. Tidak pidana korupsi misalnya, bangsa ini banyak sekali mempeti es kan kasus korupsi yang sangat perpengaruh bagi sebuah catatan sejarah hukum TIPIKOR di negara ini. Misalnya kasus korupsi mantan presiden RI H.M. Soeharto yang oleh Jaksa Agung Abdurrahman Saleh telah mengeluarkan SKP3 (Surat Penghentian Penuntutan Perkara) dengan alasan kesehatan dan HAM. Seperti yang di kutip dalam tulisan Abdurrahman Saleh yakni “Memaksa menghadirkan terdakwa yang sakit dan tidak mampu menjawab atau menuturkan isi pikiran panjang lebih dari empat kata merupakan pelanggaran terhadap standar internasional tentang hak asasi manusia...”.[8]
Dalam menyikapi persoalan hukum yang telah berlalu. Kita di hadapkan oleh asas hukum yang tidak berlaku surut. Meskipun pada sebagian undang-undang asas ini tidak di berlakukan. Misalnya Undang- Undang Terorisme yang di undangkan untuk menyelesaikan kasus yang telah terjadi. Kasus TIPIKOR H.M. Sueharto tidaklah sama dengan kasus teroris, yang memang pada waktu itu belum ada undang-undang yang mengaturnya. Namun, untuk kasus TIPIKOR kita telah memiliki undang-undang yang jelas pada waktu lalu. Pada pendahuluan makalah ini saya telah menuliskan beberapa undang-undang TIPIKOR dari zaman ke zaman di Indonesa.
Itulah hukum yang merupakan produk dari kekuasaan yang sentralistik pada waktu terdahulu. Abdurrahman Saleh banyak mengrasionalisaikan asumsi yang kemudian di jadikan kepastian hukum dalam mengungkap kasus korupsi H.M.soeharto. Bukankah hukum itu di peruntukkan untuk melindungi kepentingan masyarakat (publik Interest), kepentingan sosial (social interest), dan kepentingan pribadi (privat interest). Meskipun di satu sisi, ada kepentingan pribadi  atau katakanlah HAM bagi H.M.Soeharto. Namun, di sisi lain kita juga harus objektif dalam memperandingkan tingakat persentase perlindingan kepentingan antar masyarakat, sosial, dan pribadi. Agar tujuan hukum dapat tercapai dalam tindak pidana korupsi.
Korupsi merupakan bagian dari hukum publik yang bersifat pidana ( ultimatum remedium) . Hukum pidana tentulah terdapat sanksi yang memang sedikit mengenyampingkan HAM, karna itu hukum pidana di sebut sebagai ultimatum remedium bukan premium remedium yang melindungi kepentingan pribadi.
Kalaupun kita mencoba untuk mempresentasikan hubungan antara kasus H.M. Soeharto ini dengan sejumblah bentuk kepentingan perlindungan hukum. Menurut saya di samping kepentingan pribadi yang juga merupakan hak dari perlindungan hukum, ada kepentingan masyarakat dan sosial yang amat besar terhadap kasus korupsi ini. Misalnya, masyarakat ingin tahu dimana letak kebocoran-kebocoran anggaran yang telah menghambat lajunya pembangunan dan hutang yang melilit negara ini. Ini tentulah amat sangat penting dalam upaya kita untuk bangkit dari keterpurukan. Kemudian untuk mengetahui sindikat koruptor yang ada di negeri ini agar kedepan kita mampu melakukan upaya prefentiv terhadap tindak pidana korupsi. Belum lagi, rasa kecewa yang sampai hari ini masing bertahta di hati rakyat Indonesia. Kalau sudah seperti ini, maka tujuan hukum untuk terciptannya ketertiban dan keadilan tidak akan pernah terwujud.
Maka dari itulah saya berpendapat bahwa kedepannya perlu adanya kodifikasi hukum untuk khusus tindak pidana korupsi. Untuk dapat mengkodifikasikan hukum TIPIKOR tersebut perlu adanya pengungkapan kasus – kasus korupsi terdahulu dalam kontek penelitian hukum, meskipun kasus-kasus yang telah di tutup atau di batalkan demi hukum atau terkendala asas hukum yang tidak berlaku surut. Namun, pengungkapan hukum di sini tidak agi dalam arti untuk mencari kepastian hukum, tapi lebih pada kajian historis untuk menemukan hukum di masa lalu agar dapat menjadi referensi penemuan dan pembentukan hukum di masa yang akan datang.
Untuk KPK saya memprediksikan kalo tidak segera di undangkan dalam UUD 1942, maka kemungkinan KPK akan di bubarkan. Dan saya termasuk orang yang  menginginkan KPK agar tetap ada di Indonesia, hanya saja kedepan persoalan wewenang perlu untuk dikaji kembali agar tidak tumpang tindih dengan lembaga peradilan yang lainnya. Serta mengenai kedudukan yang harus jelas secara konstitusoinal.
F.      PENDAPAT TOKOH-TOKOH NASIONAL TENTANG KPK
1.      Pengamat hukum, Denny Idrayana (30 Desember 2006)
Mengatakan sekakap-kakapnya tangkapan KPK tak akan jauh dari para koruptor kelas teri yang berasal dari daerah-daerah, yang nominal korupsinya terbilang kecil. KPK hanya berani menyentuh kepala daerah, KPK tak bakal berani menyentuh istana, Cendana, senjata (militer) dan pengusaha naga (Cina).[9]

2.      Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi (31 Mei 2007)
Menilai perlu ada perombakan pola pemberantasan korupsi sehingga menjadi lebih efektif dan terarah.
Pemberantasan korupsi yang berlangsung saat terkesan tidak dirancang secara serius sehingga tidak berjalan secara sistematis dan tidak jelas target yang ingin dicapai. Harusnya, pemberantasan korupsi ini suatu gerakan yang berlangsung serentak dan langsung di bawah kendali presiden, bukan diserahkan pada satu komisi.

3.      Ketua Fraksi Partai Golkar Priyo Budi Santoso (28 Juni 2007)
Mengatakan partainya sedang mempertimbangkan kemungkinan mengevaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena banyak yang menganggap Komisi ini sebagai super body, dengan kewenangan yang besar sekali.
4.      Marwan Effendi, Kapusdiklat Kejaksaan Agung (7 September 2007)
Mengatakan hukum bukan sarana untuk menjatuhkan orang-orang tertentu. Hukum berorientasi pada kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Oleh karena itu, kalau KPK ingin menjadi lembaga penegak hukum yang terpercaya dan independen, semua kegiatannya harus berlandaskan hukum. KPK harus bersih dari kepentingan politik dan ekonomi. Untuk lebih memberdayakan KPK ke depan, pemberantasan korupsi harus ada sinkronisasi substansial sehingga tidak ada lagi multitafsir mengenai pengertian korupsi di antara sesama institusi penegak hukum. Arah penindakan harus terfokus, karena KPK bukan jaring trawl di dalam penegakan hukum, mengingat keterbatasan sumber daya manusianya.[10]
Mengamati pendapat-pendapat tokoh dari berbagai latar belakang diatas, mulai dari pakar hukum, politisi, sampai pemuka Agama. Kesemua pendapat di atas mengemukakan kekecawaan serta harapan terhadap KPK untuk dapat efektif dan efesien dalam memberantas korupsi di negri ini. Pendapat yang berbeda dalam persoalan penafsiran tentang hukum ataupun pruduk hukum, adalah hal yang wajar dalam dunia ilmah atau akademis. Normologi dan nomologi sangat sulit untuk kita satukan menjadi suatu yang nyata untuk kebaikan.
Tak dapat kita pungkiri bahwa perbedaan-perbedaan yang seharusnya membawa manfaat bagi kita malah menjadi mudorat bagi bangsa ini. Perbedaan – perbedaan pendapat dalam penafsiran hukum telah menjadi celah baru bagi koruptor untuk melancarkan aksinya.
Menurut saya kehadiran KPK di negri ini, telah menjadi kambing hitam di tengah konspirasi-konspirasi penguasa yang amat mengerikan bagi bangsa ini. Maka dari itu, kedepan amat penting untuk kita mengupas seluruh persoalan korupsi yang pernah terjadi di masa lampau, untuk di jadikan referensi demi hukum TIPIKOR yang lebih baik di masa yang akan datang.
G.     KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas, dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan. Yakni :
1.      Mempelajari sejarah hukum sangatlah penting untuk menentukan hukum saat ini  dan hukum dimasa yang akan datang.
2.      Lahirnya KPK dengan di keluarkannya UU NO 30 tahun 2002, di sebabkan karena lembaga peradilan yang lainnya di  nilai belum efektif dan efisien dalam memberantas korupsi .
3.      Untuk menentukan hukum tindak pidana korupsi dimasa yang akan datang, perlu adanya pengungkapan terhadap kasus-kasus korupsi yang terdahulu. Sehingga kodifikasi hukum TIPIKOR untuk masa yang akan datang dapat di lakukan dengan sebaik-baiknya.



DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr . Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak tahun 1942 Dan Apakah Kemanfaatanya bagi kita bangsa Indonesia. Yogyakarta. Universitas Atmajaya.cet.V.2011

Herman Bakir. Fisafat Hukum. Bandung. PT. Refika Aditama.cet.I.2009.

Kumpulan undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Edisi pertama. 2006.

Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia.

            Amien Rahayu SS,  Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .


Abdurrahman Saleh,”Melacak Jejak Pro-Kontra SKP3 soeharto’, Kompas,5 Juni 2006.


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=181538











           
           




     



[1] Kumpulan undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi Edisi pertama 2006
[2] Bab Pembukaan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentankorupsi, 2003)
[3] Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia
[4]  Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
[5] http://aalmarusy.blogspot.com/2010/12/sejarah-lembaga-kpk.html

[6] http://aalmarusy.blogspot.com/2010/12/sejarah-lembaga-kpk.html
[7] Sejarah Peradilan Dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak tahun 1942 Dan Apakah Kemanfaatanya bagi kita bangsa Indonesia. Hal : 9
[8] Abdurrahman Saleh,”Melacak Jejak Pro-Kontra SKP3 soeharto’, Kompas, 5 Juni 2006, hal.6.
[9]http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=25191
[10] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=181538