Rabu, 13 Juni 2012

Sejarah Hukum TIPIKOR Di Indonesia

MAKALAH
SEJARAH HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Disusun Untuk :
 Memenuhi Tugas Mid Semester Mata Kuliah Sejarah Hukum Semester I








OLEH :
FESDIAMON




MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2012





 
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN............................................................................  1

RUMUSAN MASALAH..................................................................  4

SEJARAH HUKUM INDONESIA ( 1945-1950 )...........................  4

SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA..........................................  6

SEJARAH HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA...........................  11

KESIMPULAN.................................................................................  18

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................  20 
 
SEJARAH HUKUM
TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA

 
A.    PENDAHULUAN
Persoalan korupsi yang telah banyak menghambat lajunya pembangunan suatu peradaban, ternyata juga memiliki sejarah panjang atas keberadaannya (eksistensi) di dunia. Di Indonesia, korupsi bukanlah hal baru yang menjadi penghalang lajunya pembangunan negara . Koruptor selalu di vonis bersalah oleh publik sebagai orang yang bertanggung jawab atas mandegnya pembangunan negara. Berbagai upaya telah di lakukan untuk menaggulangi tindak pidana korupsi di negara ini dan di belahan dunia lainnya.. Di antaranya di keluarkananya undang-undang TIPIKOR beserta lembaga peradilannya. Maka dari itulah, persoalan sejarah panjang Tindak Pidana Korupsi hampir berbanding lurus dengan hukum tentang Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal pembentukan hukum TIPIKOR saat ini ( Ius Constitutum) dan hukum di masa yang akan datang ( Ius Constituendum ), sejarah hukum sangat menentukan dalam pembentukan serta pembangunan hukum TIPIKOR. Sejarah hukum sering kali di jadikan referensi untuk pembentukan serta pembangunan hukum saat ini dan di masa yang akan datang.

Sejarah hukum sangat menentukan hukum pada saat ini dan di masa yang akan datang. Tak terkecuali hukum TIPIKOR, karena korupsi ikut mewarnai perjalanan sejarah peradaban, maka hukum tentang Tindak Pidana Korupsi pun ikut menjadi bagian dari sejarah peradaban dunia.

Korupsi merupakan bagian hitam dari perjalanan peradaban manusia secara universal. Hampir semua bangsa berhadapan dengan masalah ini sesuai dengan ukurannya. Korupsi sudah ada ketika zaman kuno yaitu pada peradaban Mesir, Ibrani, Babilonia, Yunani kuno, Cina, Romawi Kuno dan juga di negara-begara Barat (Eropa dan Amerika).

G.R Drdriver J.C. Miles dalam menerjemahkan The Babilonian Constitution menyebut perilaku korup telah mencapai puncak kesempurnaannya sejak sekitar tahun 1200 SM.[1] Saat itu, Hammurabi dari Babilonia yang baru menaiki tahta kekuasaanya, memerintahkan kepada seorang gubernur untuk menyelidiki penggelapan yang melibatkan pegawai pemerintahan di bawahnya. Hammurabi mengancam para pejabat di bawahnya dengan hukuman mati. Di India Kuno korupsi juga merajalela..

Korupsi dipandang sebagai tindakan amoral dan pelakunya harus mendapatkan ganjaran sangat berat. Hukum moral, bagi masyarakat kuno ini sangat dipatuhi. Di samping memiliki daya paksa (represif), hukum moral juga dipandang sebagai representasi keterlibatan Tuhan dalam persoalan sosial tertentu, karena itu pelakunya tidak bisa diampuni.

Dengan menggunakan pertimbangan semacam inilah, Gaius Verres (115-43 SM), pejabat Negara Romawi kuno yang terbukti melakukan korupsi, diasingkan sekaligus dibunuh. Ini adalah gambaran betapa korupsi telah menjadi masalah sejak ribuan tahun silam.

Di Indonesia sendiri telah terjadi kasus korupsi sejak zaman kerajaan Mataram, Demak, Singosari, Mataram, Banten, dan lain sebagainya. Hingga zaman reformasi, korupsi di Indonesia masih menjadi kendala mandegnya pembangunan, begitu juga dengan hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, selalu mengalami pasang surut dalam menghadapi kasus-kasus korupsi di Indonesia. Pada makalah ini, penulis ingin mengupas tentang sejarah hukum TIPIKOR di Indonesia. Menyesuaikan perkembangan peradaban dan perkembangan hukum menerut saya amat penting untuk penerapan hukum sebagai alat pembangunan masyarakat.

Maka dari itulah, makalah ini di harapkan dapat menjadi salah satu referensi untuk menemukan hukum di masa sekarang dan yang akan datang. Segala sesuatu kekurangan dalam penyusunan makalah ini adalah bentuk dari kekurangan penulis, demi kesempurnaan makalah ini penulis tentulah sangat membutuhkan saran, serta kritikan yang konstruktif atas keberadaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam hal pengetahuan tentang sejarah hukum TIPIKOR di Indonesia. Selamat membaca.

           

                                                                                    Jambi, 9 Juni 2012
                                                                                          Penyusun



                                                                                      FESDIAMON


[1] http://benangmerah-sejarah.blogspot.com/2010/04/sejarah-korupsi-di-dunia.html


 
A.    RUMUSAN MASALAH.
Adapun rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini, adalah mengenai sejarah hukum TIPIKOR di Indonesia pasca kemerdekaan. Dan gambaran proyeksi tentang hukum TIPIKOR di masa yang akan datang (Ius constituendum).

B.     SEJARAH HUKUM
Sebelum kita lebih lanjut membahas tentang sejarah hukum TIPIKOR, alangkah baiknya kita coba membahas pengertian sejarah dan sejarah hukum secara umum.Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon.[1] Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.

Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu, banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.

Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.

Pengertian sejarah menurut Roeslan Abdul Gani, sejarah adalah “Ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistimatis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan dari masa lampau, beserta kejadian-kejadiannya dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya, untuk di jadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian an penentuan keadaan masa sekarang serta progres masa depan”.
           
Berikut adalah pengertian sejarah menurut para Ahli[2] :
Ø  Menurut "Bapak Sejarah" Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.
Ø  Menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang dimilikinya.
Ø  Menurut Aristoteles, Sejarah merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yang konkrit.
Ø  Ibnu Khaldun, sejarah adalah catatan tentang masyarkat umat manusia atau peradaban dunia tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu masyarakat itu.
Ø  Moh. Yamin. Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang di susun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat di butikan dengan dengan kenyataan.
Ø  Mohammad Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah
menyatakan sejarah, yaitu:
(1) Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa
dalam kenyataan di sekitar kita.
(2) Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau
peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
(3) Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan
kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekita kita.
Ø  Drs. Sidi Gazalba mencoba menggambarkan sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.
Ø  Menurut Muthahhari, ada tiga cara mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan, yaitu:
a. sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini.
b. sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melaluipendekatan dan analisis atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
c. filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu pengetahuan tentang perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya saja.
Dari bebeapa pendapat para ahli, dapat kita simpulkan bahwa sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan manusia pada masa lampau, dan di jadikan pedoman untuk kehidupan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang. Sejarah yang secara umum mempelajari tentang totilatas kehidupan manusia pada masa dulu,  dan secara khusus juga mempelajari bagian dari totalitas masyaralat pada waktu itu, misalnya sejarah politik, ekonomi, sosiologi, hukum, dan sebagainya. Sejarah hukum merupakan sub bagian dari totalitas dalam perjalanan waktu kehidupan manusia. Seperti apa yang di tulis oleh Prof. Jhon Gillisen dan Frist Gorle dalam bukunya “Sejarah Hukum” menuliskan bahwa “ sejarah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya, seangkan sejarah hukum satu aspek tertentu dalam hal itu, yakni hukum.”

Jadi, jelaslah bahwa sejarah hukum adalah bagian penting darin perjalanan waktu kehidupan manusia dalam totalitasnya. Peranan hukum yang begitu besar terhadap perkembangan kehidupan manusia, membuat ilmu tentang sejarah hukum menjadi amat penting untuk di kaji. Namun, dewasa ini sedikit sakali para sejarwan yang fokus meneliti tentang sejarah hukum, kebanyakan sejarawan lebuh cenderung melakukan penelitian pada onjek sejarah secara umum, atau pada onbjek-objek tertentu saja, misalnya, sejarah politik, sisiologi, ekonomi, perjuangan serata kemerdekaan suatu bangsa, dan lain sebagainya. Padahal, sejarah hukum sangat penting untuk di kaji karena hukum tidak dapat di pisahkan darigejala-gejala kehidupan masyarakan yang terus berkembang. Bahkan dengan hukum hal-hal lain dalam kehidupan manusia dapat di telusuri. Karena hukum juga terlibat dan mempengaruhi interaksi manusia yang satu dan lainnya dalam suatu peradaban. Seperti apa yang di katalan oleh Cicero “ Dimana ada masyakat, disitu ada hukum“. Tentang manusia, Aristoteles nemdefenisikan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, hukum selalu ada ketika ada dua orang atau lebih yang berinteraksi sebagai makhluk sosia dalam perjalanan waktu kehidupan masyarakat. Jadi, persoalan sejarah hukum seharusnya juga menjadi persoalan bagi sejarawan umum dalam penenmuannya tentang sejarah politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dan dari penemuan-penemuan tersebut, dapat di susun atau di tulisa dalam literatur khusus sejarah hukum.

C.     SEJARAH HUKUM INDONESIA ( 1945-1950 )
Setelah mengamati tentang pengertian sejarah pada umumnya dan sejarah hukum yang merupakan bagian penting dalam totalitas kehidupan manusia di masa lalu. Indonesia yang juga merupakan sebuah peraaban yang kaya akan nilai-nilai historis perkembangan peradabanya, juga memiliki sejarah hukum yang panjang. Namun, pada makalah ini penulis membatasi tentang sejarah hukum di Indonesia  hanya pada kajian sejarah pasca kemerdekaan.

Kemredekaan Indonesia di tandai oleh naskah proklamasi yang di bacakan pada 7 Agustus 1945. Naskah proklamasi yang kemudian secara yuridis telah menjadi kekuatan hukum yang bersifat apnormal. Bersifat apnormal adalah hukum yang bersumber dari kemendak warga negara dan untuk kemudian di taati dengan penuh kesadaran. Para deklarator bangsa ini telah menjadikan proklamasi sebagai landasan hukum untuk memulai tatanan hukum di Indonesia yang baru saja merdeka. Dengan proklamasi tersebut, maka dengan satu tindakan tunggal, tatanan hukum kolonial di tiadakan dan diatasnya terbentuk satu tatanan hukum baru ( Ubi societas ibi ius ).[3]

Tatanan hukum pada saat itu belum terkodifikasikan, yang ada hanya hukum dalam bentuk tidak tertulis. Dengan kemerdekaan yang baru saja di deklarasikan, tentu saja keberadaan hukum positif secara nasional sangat di perlukan untuk menjamin kepastian hukum serta mewujudkan ketertiban. Maka dari itulah, Undang-Undang Dasar di tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Dalam UUD 45 disebutkan adanya tiga peraturan negara,[4] yaitu:
1.      Undang-Undang, yang di buat oleh presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 5 Ayat 1);
2.      Peraturan Pemerintah, yang di tetapkan oleh presiden untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 5 Ayat 2);
3.      Peraturan Pengganti Undang-Undang yang di buat oleh presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa (Pasal22), dan sebagaimana bunyi istalahnya, oleh karena fungsinya adalah sebagai pengganti Undang-Undang, maka kekuatannya ndalah sam dengan Undang-Undang.

Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden perlu mengeluarkan peraturan-peraturan, baik atas namanya sendiri selaku presiden, yaitu peraturan Presiden, penetapan Presiden dan maklumat presiden, maupun atas nama pemerintah, yaitu penetapan pemerintah, yang semuanya itu berdasarkan pada ketentuan bahwa “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar” (Pasasl 4 ayat 1). Demikian pula, para mentri dalam memimpin departemen-departemen pemerintahan perlu juga mengeluarkan peraturan-peraturan, yaitu peraturan mentri dan maklumat mentri (Pasal 17 ayat3).

Guna memberikan bentuk hukum pada penyelenggaraan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Setelah terbentuknya Undang-Undang Dasar 1945, maka pada saat itu pulalah telah terbentuk tatanan hukum nasional. Untuk mencegah kekosongan hukum, maka pada Pasal II aturan peralihan UUD 1945 di rumuskan : “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum di adakan yang baru menurut UUD ini.”

Dalam dekade pertama kehadiran Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat telah di bentuk tata hukum nasional dengan membentuk beberapa perangkat kaidah hukum positif, kecuali pada bidang hukum tata negara  atau hukum publik pada umumnya. Pada masa – masa itu adalam mas yang sulit untuk mengisi kalidah-kaidah hukum di Indonesia. Ini di  sebabkan banyak persolan bangsa yang belum selesai, misalnya agresi militer Belanda I dan II dan pemberontakan PKI-Muso pada tahun 1948.
Namun, dengan kesadaran serta cita-cita yang luhur dari para pemimpin bangsa pada watku itu untuk mengisi tatanan hukum nasional yang kosong terlihat sangat nyata. Terbukti dengan banyaknya tulisan atau buku yang di keluarkan oleh ahli hukum di Indonesia yang pada waktu itu hanya berjumblah sekitar 200 sarjana hukum.

Pada waktu itu kekuasaan di jalankan sepenuhnya oleh presiden. Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerekaan Indonesia melalui usulan Komite Nasoinal Indonesia Pusat (KNIP), pada tanggal 16 Oktober 1945 di keluarkan Maklumat Wakil Presiden no X yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Kemudian dengan Maklumat Pemerintah pada tangga 3 November 1945 pemerintah menganjurkan di bentuknya partai politik, yang kemudian munculah 10 partai politik yang berbeda ideologi.[5]

Setelah itu menyusul Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 yang menetapkan bahwa para mentri memegang tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, sistim pemerintah berubah dari presidensial ke parlementer, tanpa mengubag sedikitpun UUD 1945. Secara normatif hukum, kondisi ini tidaklah ideal alam tatanan hukum nasional. Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu, pertentangan elit politik bangsa ini terutama mengenai cara mengukuhkan kemerdekaan atas Belanda serta pertentangan ideologi, membuat Kabinen Sjahrir ajtuh bangun dalam perannya mengan amanah pemerintahan.

Demi medudukan persoalan kemerdekaan Indonesia atas Belanda, maka di lakukanlah proses diplomasi dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar yang merobah srtuktur tata negara dengan berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Seriakat (RIS) pada tanggal 27 Desmber 1945. Namun, konstitusi ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemudian pada tangga 17 Agustus 1946 atau bertepatan deengan satu tahun usia kemerdekaan Indonesia terjadi lagi perubahan srtuktur tata negara dengan di berlakukannya UDDS dan kemudian padantahun 1950 di keluarkannya Undang-Undang Fedral no. 7 tahun 1950 yang menganut sistim pemerintahan parlementer liberal.

Dalam kurun waktu inilah terjadi dinamika hukum di Indonesia, demi untuk mewujudkan ketrtiban serta kepastian hukum sebagai negara yang berdaulat. Namun, pada subtansinya tatanan hukum di Indonesia tidak ada perubahan. Semua di awali dengan adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menyatakan diri segabagai negara yang mereka dari segala macam bentuk penjajahan di muka bumi. Hingga saat ini, reformasi belum bisa menjawab tantangan tersebut secara utuh. Masih banyak produk hukum kita yang merupakan warisan kolodial belanda. Dan mengenai penegakan serta pembangunan hukum di Indonesia saat ini masih perlu kita benahi. Negara yang demokratis ini, menurut saya belum layak nuntuk dikatakan sebagai negara hukum yang utuh, yang memberikan kedaulatan hukum (Nomokrasi) serta kepastian hukum pada segenap rakyat Indonesia

D.    SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA.[6]
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting mengapa korupsi begitu sangat mudah tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.

Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala Dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan ini pun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi.

Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yang tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita.

Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas dari mana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dan lain sebagainya).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan.[7] Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dan lain sebagainya, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.

Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.[8] Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari. Dalam sejarah masyarakat feodal sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat ditemukan tradisi upeti bangsawan rendahan kepada bangsawan yang memiliki kekuasaan lebih tinggi. Tujuannya adalah agar kedudukan lapisan bawah ini aman, terlindung, tetap berkuasa, atau mendapat legitimasi untuk melakukan eksploitasi terhadap para pengikut di daerah kekuasannya.

Pola relasi seperti ini dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara menempatkan pejabat-pejabat pribumi di distrik tertentu untuk menguasai daerah serta penduduknya. Pemerintah Kolonial Belanda akan mempertahankan pejabat-pejabat pribumi yang berhasil melaksana-kan kebijakannya dan yang memberikan upeti kepada pejabat kolonial. Upeti yang diberikan pejabat pribumi itu berasal dari hasil eksploitasi mereka terhadap penduduk pribumi. Pola relasi seperti ini telah melahirkan kebiasaan bangsa pribumi yang memiliki kedudukan tertentu menjilat penjajah (penguasa) agar kedudukan mereka tetap dipertahankan.

Sedangkan rakyat jelata berusaha menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman pamong praja yang menjadi kepanjangan tangan penguasa kolonial dengan berbagai cara termasuk, jika diperlukan, mengorbankan sesamanya.[9]

Dalam catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin, 2000).

Korupsi pada masa pendudukan tentara Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi rakyat, dan terlalu berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang di kawasan Asia, sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Thamrin (2000), ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat pendudukan Jepang bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan Belanda.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah teritorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. 
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi, budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini. Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah.

Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi hancur dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakat kian melambung tinggi.

Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.

Korupsi dikatakan sebagai bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap darah bagi rakyatnya sendiri.

Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup. Salah satu fakta penting yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar hutang-hutang luar negeri melalui IMF. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran hutang-hutang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran hutang tersebut kepada rakyat Indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati hutang-hutang tersebut. Membebankan dengan memilih, mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat.

Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!.

Dari pemaparan di atas, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakatnya sendiri.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara yang semakin meningkat menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun. Bahkan, cenderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Hal inilah yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK diharapkan mampu menjadi ujung tombak bangsa ini dalam melawan korupsi. Namun, kelahiran KPK banyak menimbulkan spekulasi opini tentang keberadaan KPK yang dianggap inkonstitusional .

E.     SEJARAH HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Kemudian ada lagi Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1960 dengan munculnya Perppu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.[10]



Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut [11]:
1.      Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.[12]  Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.[13]

2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[14] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

            Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang tinggi dalam hal penuntasan tindak pidana korupsi. Namun sangat di sayangkan, sampai saat ini KPK oleh beberapa pengamat hukum di nilai inskontitusional. Kerena tidak tercamtum dalam UUD 1945 sebagai salah satu lembaga negara.

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.

Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal  419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.

Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.

Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Kemudian Indonesia menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan konvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[15]
Demikianlah sekilas tentag sejaraah hukum TIPKOR di Indonesia. Saya berpendapat bahwa, antara sejarah budaya korupsi dengan hukum TIPIKOR di Indonesia, tidak berbanding lurus. Budaya korupsi d Indonesia telah ada dan berkembang sejak zaman kerajaan. Budaya korupsi terkesan semakin berkembang dan tak dapat di bendung lagi.

Peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat menghambat apalagi menghentiakn budaya korupsi yang terlanjur menjamur alam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ini tentulah perlu menjadi renungkan kita semua. Apa yang harus kita lakukan untuk negara ini agar dapat terlepas dari perankap budaya korup yang telah membumi di Indonesia.

Produk hukum yang semestinya dapat melindungu negara ini dari ancaman koruptor, ternyata belum juga dapat memperlihatkan hasil yang memuaskan. Apakah produk UU TIPIKOR kita yang tidak efektif, ataukah lembaga peradilannya, atau penegak hukumnya. Menurut Friedman dalam teorinya “ Three element of legal system”; ada tiga unsur sistim yang sangat menentukan dalam penegakan hukum, yakni:Pranata hukum (Legal Structure), subtansi hukum (Legal Subtance), dan budaya hukum (Legal Culture). Kesemua sistim yang di kemukakan Friedman hendaknya dapat berjalan dengan baik secara bersama-sama. Namun, dewasa ini untuk menerapkan tiori tersebut dalam kehidupan nyata, tentulah agak sulit rasanya. Apa lagi Indonesia, budaya korupsi telah terlebih dahulu menjadi budaya bahkan telah mampu merusak sisitim hukum yang ada di Indonesia. Namun, untuk kedepannya peran para penegak hukum sangat menentukan untuk memberantas budaya korupsi di Indonesia.

Walaupun kita punya budaya hukum yang tidak baik, namun ketika hukum di jalankan oleh penegak hukum yang bermoral dan mengerti hukum, tentulah budaya hukum kita yang buruk akan tertutupi oleh kijerja para penegak hukum kita yang baik. Bukankah hakim merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan hukum, yakni ketrtiban dan keadilan. Karena Korupsi yang saat ini mendera masyarakat Indonesia telah berakar kuat karena adanya proses yang cukup panjang. Tidak hanya di Indonesia, tetapi semua bangsa juga berakar dari sejarah ke masa silam. Korupsi adalah suatu gejala sosial dalam sejarah (masa lalu) dan masa kini.

F.      SEJARAH LAHIRNYA LEMBAGA KOMISI PUMBERNTASAN KORUPSI.[16]
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002. Tututan reformasi menjadi salah satu alasan lembaga ini di bentuk. Tidak efektif dan efisiennya lembaga penegak hukum yang ada dalam memberantas tindak pidana korupsi juga menjadi alasan lahirnya KPK. Sebelun lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Negara kita juga telah memiliki undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Antara lain adalah UU NO 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme , UU NO 31 Tahun 1999, UU NO 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah adanya UU NO 30 tahun 2002, adalagi UU NO 7 Tahun 2006. 

Selain adanya undang-undang tersebut diatas, negara kita juga pernah memiliki lembaga-lembaga khusuh TIPIKOR. Berikut enam lembaga negara yang pernah di bentuk dan berhubungan dengan tindak pidana korupsi .[17]
1.      Tim Pemberantasan  Korupsi
Tim ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
2.      Komisi Empat (Januari-Mei 1970)
Dibentuk melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah. Selain Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
3.      Operasi Penertiban (1977-1981)
Dibentuk melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
4.      Tim Pemberantas Korupsi (1982)
Tim Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya Keppres baru.
5.      Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Dibentuk melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi sub bagian pencegahan dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
6.      Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001)
Dibentuk melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (juducial review) Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar.

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa keingingan negara ini untuk bebas dari perangkap korupsi sangatlah kuat. Namun, dari sekian banyak lembaga yang ada, tidak ada lembaga yang khusus mengupayakan upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi kecual Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999). Akibatnya, korupsi sampai saat ini tak kunjung berhenti. Bahkan semakin menjadi-jadi bagai bola salaju (snow bool). Berbagai alasanpun muncul menyikapi persoalan korupsi yang tiada hentinya di negri ini. Ada yang menyebutkan bahwa ini di sebabkan karena persoalan moralitas, persoalan tumpang tindih kewanangan antara lembaga penegak hukum, persoalan warisan budaya dari penguasa-penguasa sebelumnya dan lain sebagainya.

Apapun alasannya, yang jelas bangsa ini terkesan tidak akan mungkin bisa lepas dari masalah korupsi. Bahkan, wacana hukuman matipun bagi para koruptor muncul untuk mengekspresikan kekecewaan rakyat terhadap lembaga penegak hukum dan yang ada di Indonesia. Apa  yang salah dengan ideologi bangsa kita? Kita tidak mampu untuk menegakan pilar-pilar ideologi untuk kemajuan pearadaban kita.

Dahulu korupsi hanya di lakukan oleh pejabat-pejabat senayan. Namun sekarang semenjak adanya undang-undang otonomi daerah, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah daerah  sampai pejabat desa banyak yang tersandung kasus korupsi. Kalau sudah seperti ini, apakah kita masih menyalahkan UU yang di buat penguasa? Padahal tujuan dari otonomi daerah salah satunya adalah percepatan pembangunan, bukan penghambatan pembangunan daerah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki lima juga tugas utama yaitu :
1.    Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2.    Koordinasi            
3.    Supervisi
4.    Pencegahan
5.    Monitoring

Diawal berdirinya, KPK dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki yang dilantik pada tanggal 16 Desember 2003 bersama empat Pimpinan KPK lainnya, yaitu Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak H. Panggabean, dan Erry Riyana Hardjapamekas.[18]

Di masa awal berdirinya KPK, bisa dikatakan modalnya adalah “Nol Besar”. Para Pimpinan KPK dilantik tanpa gedung kantor untuk bisa bekerja dan tanpa karyawan. Mereka bahkan membawa staf dari kantor lamanya masing-masing dan menggajinya sendiri. Tak berapa lama, baru muncul tim dari BPKP yang menjadi karyawan pertama di KPK. Waktu berlalu dan tim tambahan dari Kejaksaan maupun Kepolisian, mulai datang untuk bekerja di KPK.

Demikianlah sekilas tentang kemunculan KPK di Indonesia. Eksistentensi KPK di harapkan dapat membersihkan negri ini dari korupsi. KPK di harapkan bebas dari intervensi dalam bentuk apapun, serta tidak tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi. Semoga kedepan semua lembaga peradilan yang ada di Indonesia dapat mewujudkan tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.

G.    KESIMPULAN
Sejarah secara umum mempelajari tentang perjalan waktu masyarakat dalam tolitasnya. Sedangkan sejarah hukum adalah bagian dari sejarah umum, atau merupakan sub bagian dari totalitas perjalanan waktu masyarakat. Namun, sejara hukum dapat mendeteksi perjalanan hidup manusia dari waktu ke waktu, karena hukum menyentuh semua aspek kehidupan manusia. Dalam ilmu sejarah umum seperti sejarah politik, sosiologi, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, seharusnya sejaharawan dapat menemukan sejarah hukum di dalamnya. Karena hukum juga terlibat dan mempengaruhi interaksi manusia yang satu dan lainnya dalam suatu peradaban. Seperti apa yang di katalan oleh Cicero “ Dimana ada masyakat, disitu ada hukum“. Tentang manusia, Aristoteles nemdefenisikan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, hukum selalu ada ketika ada dua orang atau lebih yang berinteraksi sebagai makhluk sosia dalam perjalanan waktu kehidupan masyarakat. Jadi, persoalan sejarah hukum seharusnya juga menjadi persoalan bagi sejarawan umum dalam penenmuannya tentang sejarah politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dan dari penemuan-penemuan tersebut, dapat di susun atau di  tulisa dalam literatur khusus sejarah hukum. Tujuan akhir dari sejarah hukum adalah´menunjang dan bermuara pada didalam penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan tujuan parsiil yang spesifik dan perlu ada perlu ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni penemuan dalil-dalil dan kecendrungan-kecendrungan perkembangan hukum.[19]

Masalah sosial yang muncul dalam sejarah perjalanan bangsa ini tidak hanya menarik untuk dikaji dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan juga bisa menjadi bahan pelajaran yang menarik dikembangkan dalam pembelajaran sejarah.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi dengan berbagai pertanyaan yang harus dijawab saat ini dapat dikatakan atau disepakati telah mengakar dan membudaya. Para pengamat korupsi banyak yang memaparkan mengenai asal-usul korupsi pada hakikatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal sistem pemerintahan feodal (oligarki absolut).

Secara sederhana dapat dikatakan pemerintahan yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (raja-raja atau sultan) yang notebene memiliki kekuasaan penuh. Korupsi yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu pada kekuasaan “birokrasi patrimonial” dan bertumpu sistem feodal.
Mentalitas feodal yang belum hilang pada jati diri bangsa inilah salah satu sebab sulitnya membangun masyarakat yang bersih dari korupsi serta membangun masyarakat modern. Feodal juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya karena Jepang yang dulunya mungkin sampai saat ini merupakan negara feodal mampu bangkit dan maju. Mereka mampu mengendalikan zaman dengan feodalnya, bukan tertinggal zaman dengan alasan adanya mental feodal. Hendaknya apa yang di contohkan Jepang dapat menjadi salah satu reverensi kita untuk membangun hukum di negara kita.

Penelitian sejarah terhadap hukum masih sangat di perlukan di negri ini, kurangnya sejaharawan yang meniliti tentang hukum khususnya hukum TIPIKOR negara ini, menurut saya bisa menjadi salah satu alasan kenapa kita tidak bisa bangkit dari keterpurukan budaya korup yang melanda bumi pertiwi ini. Korupsi telah menjalar hampir keseluruh lapisan masyarat.
 
Sudah saatnya penelitian sejarah tentang korupsi menjadi salah satu reverensi utama dalam pembangunan hukum TIPIKOR di masa yang akan datang. Pergeseran budaya ternyata membuat budaya korupsi di negara in semakin berkembang. Dalam hal ini tentulah kita sangat membutuhkan produk hukum TIPIKOR yang juga mengakomodir kepentingan budaya Indonesia secara utuh.
Demi mengejar ketertinggalan produk hukum TIPIKOR kita dengan budaya korupsi yang telah lebih dulu lahir dan berkembang di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Untuk melawan budaya korup yang telah melahirkan sebuah sistim perampokan kekayaan negara, maka di perlukan pula sistim yang benar-benar kuat untuk membasmi budaya korup di negara kita. Karena untuk melawan sebuah sistem haruslah dengan sitem yang lebih kuat, dan itu adalah produk hukum TIPIKOR yang baik serta di jalankan oleh penegak hukum yang bermoral dan bermartabat.



[1] Wikipedia bahasa Indonesia
[2] http://www.rajanembak.com/2011/07/kumpulan-pengertian-sejarah-menurut.html

[3] Refleksi Struktur Ilmu Hukum. Hal :1
[4] Sudikno Metokusumo.Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak Tahun1942 Dan Apakan Kemanfaatannya Bagi Kita Bnagsa Indonesia. Hal : 41
[5] Prof. Dr Benard Arif Sidharta, SH. Refleksi Struktur Ilmu Hukum. Hal :17
[6] Fesdiamon .Makalah Sejarah Lahirnya UU NO 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.Hal : 4
[7] Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia
[8]  Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
[9] http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/05/antasari-antikorupsi-antisirri-menulis-sejarah-korupsi-bumi-pertiwi-bareng-rani-juliani/

[10] http://polmas.wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/

[11] Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22
[12] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13
[13] Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005
[14] Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
[15] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.
[16] Fesdiamon.Makalah Sejarah Lahirnya UU No 30 Tahun 2001 Tentang KPK
[17] http://aalmarusy.blogspot.com/2010/12/sejarah-lembaga-kpk.html

[18] http://aalmarusy.blogspot.com/2010/12/sejarah-lembaga-kpk.html
[19] Gillisen & Firts Gorle. Sejarah Hukum. Hal : 12




 
DAFTAR PUSTAKA

Jhon Gillisen & frits Gorle.Sejarah Hukum . PT.refika aditama. Bandung. Cet V.2005.

Sudikno Metokusumo.Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak Tahun1942 Dan Apakan Kemanfaatannya Bagi Kita Bnagsa Indonesia. Universitas Atmajaya Yogyakarta.2011

http://benangmerah-sejarah.blogspot.com/2010/04/sejarah-korupsi-di-dunia.html

Benard Arif Sidharta.Prof.Refleksi  Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandiri Maju. 2009


Fesdiamon .Makalah Sejarah Lahirnya UU NO 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.2012


Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia.


http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/05/antasari-antikorupsi-antisirri-menulis-sejarah-korupsi-bumi-pertiwi-bareng-rani-juliani/


Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .


Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001,


Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005


Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008