MAKALAH
SEJARAH
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Disusun Untuk :
Memenuhi Tugas Mid Semester Mata Kuliah Sejarah
Hukum Semester I
OLEH
:
FESDIAMON
MAGISTER ILMU
HUKUM
UNIVERSITAS
JAMBI
2012
DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN............................................................................ 1
RUMUSAN
MASALAH.................................................................. 4
SEJARAH HUKUM INDONESIA ( 1945-1950
)........................... 4
SEJARAH KORUPSI DI
INDONESIA.......................................... 6
SEJARAH HUKUM TIPIKOR DI
INDONESIA........................... 11
KESIMPULAN................................................................................. 18
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................... 20
SEJARAH
HUKUM
TINDAK
PIDANA KORUPSI
DI
INDONESIA
A.
PENDAHULUAN
Persoalan
korupsi yang telah banyak menghambat lajunya pembangunan suatu peradaban,
ternyata juga memiliki sejarah panjang atas keberadaannya (eksistensi) di dunia. Di Indonesia, korupsi bukanlah hal baru yang
menjadi penghalang lajunya pembangunan negara . Koruptor selalu di vonis
bersalah oleh publik sebagai orang yang bertanggung jawab atas mandegnya
pembangunan negara. Berbagai upaya telah di lakukan untuk menaggulangi tindak
pidana korupsi di negara ini dan di belahan dunia lainnya.. Di antaranya di
keluarkananya undang-undang TIPIKOR beserta lembaga peradilannya. Maka dari
itulah, persoalan sejarah panjang Tindak Pidana Korupsi hampir berbanding lurus
dengan hukum tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
hal pembentukan hukum TIPIKOR saat ini ( Ius
Constitutum) dan hukum di masa yang akan datang ( Ius Constituendum ), sejarah hukum sangat menentukan dalam
pembentukan serta pembangunan hukum TIPIKOR. Sejarah hukum sering kali di
jadikan referensi untuk pembentukan serta pembangunan hukum saat ini dan di
masa yang akan datang.
Sejarah
hukum sangat menentukan hukum pada saat ini dan di masa yang akan datang. Tak
terkecuali hukum TIPIKOR, karena korupsi ikut mewarnai perjalanan sejarah
peradaban, maka hukum tentang Tindak Pidana Korupsi pun ikut menjadi bagian
dari sejarah peradaban dunia.
Korupsi merupakan bagian hitam dari
perjalanan peradaban manusia secara universal. Hampir semua bangsa berhadapan
dengan masalah ini sesuai dengan ukurannya. Korupsi sudah ada ketika zaman kuno
yaitu pada peradaban Mesir, Ibrani, Babilonia, Yunani kuno, Cina, Romawi Kuno
dan juga di negara-begara Barat (Eropa dan Amerika).
G.R Drdriver J.C. Miles dalam
menerjemahkan The Babilonian Constitution menyebut perilaku korup telah
mencapai puncak kesempurnaannya sejak sekitar tahun 1200 SM.[1]
Saat itu, Hammurabi dari Babilonia yang baru menaiki tahta kekuasaanya,
memerintahkan kepada seorang gubernur untuk menyelidiki penggelapan yang
melibatkan pegawai pemerintahan di bawahnya. Hammurabi mengancam para pejabat
di bawahnya dengan hukuman mati. Di India Kuno korupsi juga merajalela..
Korupsi dipandang sebagai tindakan
amoral dan pelakunya harus mendapatkan ganjaran sangat berat. Hukum moral, bagi
masyarakat kuno ini sangat dipatuhi. Di samping memiliki daya paksa (represif),
hukum moral juga dipandang sebagai representasi keterlibatan Tuhan dalam
persoalan sosial tertentu, karena itu pelakunya tidak bisa diampuni.
Dengan menggunakan pertimbangan
semacam inilah, Gaius Verres (115-43 SM), pejabat Negara Romawi kuno yang
terbukti melakukan korupsi, diasingkan sekaligus dibunuh. Ini adalah gambaran
betapa korupsi telah menjadi masalah sejak ribuan tahun silam.
Di Indonesia sendiri telah terjadi
kasus korupsi sejak zaman kerajaan Mataram, Demak, Singosari, Mataram, Banten,
dan lain sebagainya. Hingga zaman reformasi, korupsi di Indonesia masih menjadi
kendala mandegnya pembangunan, begitu juga dengan hukum Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia, selalu mengalami pasang surut dalam menghadapi kasus-kasus
korupsi di Indonesia. Pada makalah ini, penulis ingin mengupas tentang sejarah
hukum TIPIKOR di Indonesia. Menyesuaikan perkembangan peradaban dan
perkembangan hukum menerut saya amat penting untuk penerapan hukum sebagai alat
pembangunan masyarakat.
Maka dari itulah, makalah ini di
harapkan dapat menjadi salah satu referensi untuk menemukan hukum di masa
sekarang dan yang akan datang. Segala sesuatu kekurangan dalam penyusunan
makalah ini adalah bentuk dari kekurangan penulis, demi kesempurnaan makalah
ini penulis tentulah sangat membutuhkan saran, serta kritikan yang konstruktif
atas keberadaan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, terutama dalam hal pengetahuan tentang sejarah hukum TIPIKOR di Indonesia.
Selamat membaca.
Jambi,
9 Juni 2012
Penyusun
FESDIAMON
A.
RUMUSAN
MASALAH.
Adapun rumusan masalah yang terdapat
pada makalah ini, adalah mengenai sejarah hukum TIPIKOR di Indonesia pasca
kemerdekaan. Dan gambaran proyeksi tentang hukum TIPIKOR di masa yang akan
datang (Ius constituendum).
B.
SEJARAH
HUKUM
Sebelum
kita lebih lanjut membahas tentang sejarah hukum TIPIKOR, alangkah baiknya kita
coba membahas pengertian sejarah dan sejarah hukum secara umum.Kata sejarah
secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة:
šajaratun) yang artinya pohon.[1]
Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh
dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan.
Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti
ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history,
yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte
yang berarti sudah terjadi.
Dalam
istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam
literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu,
banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani
historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie,
bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan
bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.
Menilik
pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan
bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu
masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan
cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi.
Pengertian sejarah menurut Roeslan
Abdul Gani, sejarah adalah “Ilmu yang
meneliti dan menyelidiki secara sistimatis keseluruhan perkembangan masyarakat
serta kemanusiaan dari masa lampau, beserta kejadian-kejadiannya dengan maksud
untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya, untuk di jadikan
perbendaharaan pedoman bagi penilaian an penentuan keadaan masa sekarang serta
progres masa depan”.
Berikut adalah pengertian sejarah
menurut para Ahli[2] :
Ø Menurut "Bapak Sejarah"
Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu perputaran jatuh
bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.
Ø Menurut E.H. Carr dalam buku teksnya
What is History, adalah dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan
lampau, suatu proses interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan
fakta-fakta yang dimilikinya.
Ø Menurut Aristoteles, Sejarah
merupakan satu sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun
dalam bentuk kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah
peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau
bukti-bukti yang konkrit.
Ø Ibnu Khaldun, sejarah adalah catatan
tentang masyarkat umat manusia atau peradaban dunia tentang perubahan-perubahan
yang terjadi pada waktu masyarakat itu.
Ø Moh. Yamin. Sejarah adalah suatu
ilmu pengetahuan yang di susun atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang
dapat di butikan dengan dengan kenyataan.
Ø Mohammad Ali dalam bukunya Pengantar
Ilmu Sejarah
menyatakan sejarah, yaitu:
menyatakan sejarah, yaitu:
(1)
Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa
dalam kenyataan di sekitar kita.
dalam kenyataan di sekitar kita.
(2)
Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau
peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.
(3)
Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan
kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekita kita.
kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekita kita.
Ø Drs. Sidi Gazalba mencoba
menggambarkan sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang disusun
secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran
dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman tentang apa yang berlaku.
Ø Menurut Muthahhari, ada tiga cara
mendefinisikan sejarah dan ada tiga disiplin kesejarahan yang saling berkaitan,
yaitu:
a. sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini.
a. sejarah tradisional (tarikh naqli) adalah pengetahuan tentang
kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan kemanusiaan di masa lampau dalam kaitannya dengan keadaan-keadaan masa kini.
b.
sejarah ilmiah (tarikh ilmy), yaitu pengetahuan tentang hukum-hukum yang tampak
menguasai kehidupan masa lampau yang diperoleh melaluipendekatan dan analisis
atas peristiwa-peristiwa masa lampau.
c.
filsafat sejarah (tarikh falsafi), yaitu pengetahuan tentang
perubahan-perubahan bertahap yang membawa masyarakat dari satu tahap ke tahap
lain, ia membahas hukum-hukum yang menguasai perubahan-perubahan ini. Dengan
kata lain, ia adalah ilmu tentang menjadi masyarakat, bukan tentang mewujudnya
saja.
Dari
bebeapa pendapat para ahli, dapat kita simpulkan bahwa sejarah adalah ilmu yang
mempelajari tentang kehidupan manusia pada masa lampau, dan di jadikan pedoman
untuk kehidupan manusia pada masa sekarang dan yang akan datang. Sejarah yang
secara umum mempelajari tentang totilatas kehidupan manusia pada masa
dulu, dan secara khusus juga mempelajari
bagian dari totalitas masyaralat pada waktu itu, misalnya sejarah politik,
ekonomi, sosiologi, hukum, dan sebagainya. Sejarah hukum merupakan sub bagian
dari totalitas dalam perjalanan waktu kehidupan manusia. Seperti apa yang di
tulis oleh Prof. Jhon Gillisen dan Frist Gorle dalam bukunya “Sejarah Hukum” menuliskan bahwa “ sejarah mempelajari perjalanan waktu
masyarakat di dalam totalitasnya, seangkan sejarah hukum satu aspek tertentu
dalam hal itu, yakni hukum.”
Jadi, jelaslah bahwa sejarah hukum
adalah bagian penting darin perjalanan waktu kehidupan manusia dalam
totalitasnya. Peranan hukum yang begitu besar terhadap perkembangan kehidupan
manusia, membuat ilmu tentang sejarah hukum menjadi amat penting untuk di kaji.
Namun, dewasa ini sedikit sakali para sejarwan yang fokus meneliti tentang
sejarah hukum, kebanyakan sejarawan lebuh cenderung melakukan penelitian pada onjek
sejarah secara umum, atau pada onbjek-objek tertentu saja, misalnya, sejarah
politik, sisiologi, ekonomi, perjuangan serata kemerdekaan suatu bangsa, dan
lain sebagainya. Padahal, sejarah hukum sangat penting untuk di kaji karena
hukum tidak dapat di pisahkan darigejala-gejala kehidupan masyarakan yang terus
berkembang. Bahkan dengan hukum hal-hal lain dalam kehidupan manusia dapat di
telusuri. Karena hukum juga terlibat dan mempengaruhi interaksi manusia yang
satu dan lainnya dalam suatu peradaban. Seperti apa yang di katalan oleh Cicero
“ Dimana ada masyakat, disitu ada hukum“.
Tentang manusia, Aristoteles nemdefenisikan manusia sebagai makhluk sosial.
Artinya, hukum selalu ada ketika ada dua orang atau lebih yang berinteraksi
sebagai makhluk sosia dalam perjalanan waktu kehidupan masyarakat. Jadi,
persoalan sejarah hukum seharusnya juga menjadi persoalan bagi sejarawan umum
dalam penenmuannya tentang sejarah politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Dan dari penemuan-penemuan tersebut, dapat di susun atau di tulisa dalam
literatur khusus sejarah hukum.
C.
SEJARAH
HUKUM INDONESIA ( 1945-1950 )
Setelah mengamati tentang pengertian
sejarah pada umumnya dan sejarah hukum yang merupakan bagian penting dalam
totalitas kehidupan manusia di masa lalu. Indonesia yang juga merupakan sebuah
peraaban yang kaya akan nilai-nilai historis perkembangan peradabanya, juga
memiliki sejarah hukum yang panjang. Namun, pada makalah ini penulis membatasi
tentang sejarah hukum di Indonesia hanya
pada kajian sejarah pasca kemerdekaan.
Kemredekaan Indonesia di tandai oleh
naskah proklamasi yang di bacakan pada 7 Agustus 1945. Naskah proklamasi yang
kemudian secara yuridis telah menjadi kekuatan hukum yang bersifat apnormal.
Bersifat apnormal adalah hukum yang bersumber dari kemendak warga negara dan
untuk kemudian di taati dengan penuh kesadaran. Para deklarator bangsa ini
telah menjadikan proklamasi sebagai landasan hukum untuk memulai tatanan hukum
di Indonesia yang baru saja merdeka. Dengan proklamasi tersebut, maka dengan
satu tindakan tunggal, tatanan hukum kolonial di tiadakan dan diatasnya
terbentuk satu tatanan hukum baru ( Ubi
societas ibi ius ).[3]
Tatanan hukum pada saat itu belum
terkodifikasikan, yang ada hanya hukum dalam bentuk tidak tertulis. Dengan
kemerdekaan yang baru saja di deklarasikan, tentu saja keberadaan hukum positif
secara nasional sangat di perlukan untuk menjamin kepastian hukum serta
mewujudkan ketertiban. Maka dari itulah, Undang-Undang Dasar di tetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945. Dalam UUD 45 disebutkan adanya tiga peraturan negara,[4]
yaitu:
1. Undang-Undang, yang di buat oleh
presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 5 Ayat 1);
2. Peraturan Pemerintah, yang di
tetapkan oleh presiden untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 5 Ayat 2);
3. Peraturan Pengganti Undang-Undang
yang di buat oleh presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa (Pasal22),
dan sebagaimana bunyi istalahnya, oleh karena fungsinya adalah sebagai
pengganti Undang-Undang, maka kekuatannya ndalah sam dengan Undang-Undang.
Dalam menjalankan kekuasaannya,
presiden perlu mengeluarkan peraturan-peraturan, baik atas namanya sendiri
selaku presiden, yaitu peraturan Presiden, penetapan Presiden dan maklumat
presiden, maupun atas nama pemerintah, yaitu penetapan pemerintah, yang
semuanya itu berdasarkan pada ketentuan bahwa “ Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar” (Pasasl 4 ayat 1).
Demikian pula, para mentri dalam memimpin departemen-departemen pemerintahan
perlu juga mengeluarkan peraturan-peraturan, yaitu peraturan mentri dan
maklumat mentri (Pasal 17 ayat3).
Guna memberikan bentuk hukum pada
penyelenggaraan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Setelah terbentuknya
Undang-Undang Dasar 1945, maka pada saat itu pulalah telah terbentuk tatanan
hukum nasional. Untuk mencegah kekosongan hukum, maka pada Pasal II aturan
peralihan UUD 1945 di rumuskan : “ segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum di
adakan yang baru menurut UUD ini.”
Dalam dekade pertama kehadiran
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat telah di bentuk tata hukum nasional
dengan membentuk beberapa perangkat kaidah hukum positif, kecuali pada bidang
hukum tata negara atau hukum publik pada
umumnya. Pada masa – masa itu adalam mas yang sulit untuk mengisi kalidah-kaidah
hukum di Indonesia. Ini di sebabkan
banyak persolan bangsa yang belum selesai, misalnya agresi militer Belanda I
dan II dan pemberontakan PKI-Muso pada tahun 1948.
Namun, dengan kesadaran serta
cita-cita yang luhur dari para pemimpin bangsa pada watku itu untuk mengisi
tatanan hukum nasional yang kosong terlihat sangat nyata. Terbukti dengan
banyaknya tulisan atau buku yang di keluarkan oleh ahli hukum di Indonesia yang
pada waktu itu hanya berjumblah sekitar 200 sarjana hukum.
Pada waktu itu kekuasaan di jalankan
sepenuhnya oleh presiden. Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerekaan Indonesia melalui usulan Komite Nasoinal Indonesia Pusat
(KNIP), pada tanggal 16 Oktober 1945 di keluarkan Maklumat Wakil Presiden no X
yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Kemudian dengan Maklumat
Pemerintah pada tangga 3 November 1945 pemerintah menganjurkan di bentuknya
partai politik, yang kemudian munculah 10 partai politik yang berbeda ideologi.[5]
Setelah itu menyusul Maklumat
Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 yang menetapkan bahwa para mentri
memegang tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, sistim pemerintah berubah
dari presidensial ke parlementer, tanpa mengubag sedikitpun UUD 1945. Secara
normatif hukum, kondisi ini tidaklah ideal alam tatanan hukum nasional. Dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu, pertentangan elit
politik bangsa ini terutama mengenai cara mengukuhkan kemerdekaan atas Belanda
serta pertentangan ideologi, membuat Kabinen Sjahrir ajtuh bangun dalam
perannya mengan amanah pemerintahan.
Demi medudukan persoalan kemerdekaan
Indonesia atas Belanda, maka di lakukanlah proses diplomasi dengan Belanda
melalui Konferensi Meja Bundar yang merobah srtuktur tata negara dengan berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Seriakat (RIS) pada tanggal 27 Desmber 1945.
Namun, konstitusi ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemudian pada tangga 17
Agustus 1946 atau bertepatan deengan satu tahun usia kemerdekaan Indonesia
terjadi lagi perubahan srtuktur tata negara dengan di berlakukannya UDDS dan kemudian
padantahun 1950 di keluarkannya Undang-Undang Fedral no. 7 tahun 1950 yang
menganut sistim pemerintahan parlementer liberal.
Dalam kurun waktu inilah terjadi
dinamika hukum di Indonesia, demi untuk mewujudkan ketrtiban serta kepastian
hukum sebagai negara yang berdaulat. Namun, pada subtansinya tatanan hukum di
Indonesia tidak ada perubahan. Semua di awali dengan adanya Proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang menyatakan diri segabagai negara yang mereka dari
segala macam bentuk penjajahan di muka bumi. Hingga saat ini, reformasi belum
bisa menjawab tantangan tersebut secara utuh. Masih banyak produk hukum kita
yang merupakan warisan kolodial belanda. Dan mengenai penegakan serta
pembangunan hukum di Indonesia saat ini masih perlu kita benahi. Negara yang
demokratis ini, menurut saya belum layak nuntuk dikatakan sebagai negara hukum
yang utuh, yang memberikan kedaulatan hukum (Nomokrasi) serta kepastian hukum pada segenap rakyat Indonesia
D.
SEJARAH
KORUPSI DI INDONESIA.[6]
Salah
satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah
“sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan
di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan
tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama
kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh
pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya
menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang
menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas
Negara, dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada
segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat
terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi faktor penting
mengapa korupsi begitu sangat mudah tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada
sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi
yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari
bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran
masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan
social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter
tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan
hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga Kepala
Dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh
kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal
pemerintahan ini pun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya
diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat
terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat
dominannya kekuasaan yang terjadi.
Akibatnya,
budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan
prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi
Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yang tak sedikit dalam
pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah
biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan
saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat
jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan
kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar
dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan
membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan,
akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa
untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak
masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum
untuk menumpas koruptor di Negara kita.
Jika
dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas dari mana awal praktek
korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan
pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya
telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system
pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan,
pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari
kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dan lain
sebagainya).
Secara garis besar, budaya korupsi
di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman
kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita
coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama,
Fase Zaman Kerajaan.[7]
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya
kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat
Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan
Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dan lain sebagainya, mengajarkan
kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri, telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
Kerajaan
Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung
kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui,
kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang
Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak
yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada
juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan
ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso.[8]
Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang
lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini,
cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal
tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada
akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan
pemerintahan kita dikmudian hari. Dalam sejarah masyarakat feodal sebelum kedatangan
bangsa-bangsa Barat ditemukan tradisi upeti bangsawan rendahan kepada bangsawan
yang memiliki kekuasaan lebih tinggi. Tujuannya adalah agar kedudukan lapisan
bawah ini aman, terlindung, tetap berkuasa, atau mendapat legitimasi untuk
melakukan eksploitasi terhadap para pengikut di daerah kekuasannya.
Pola relasi seperti ini
dipertahankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara menempatkan
pejabat-pejabat pribumi di distrik tertentu untuk menguasai daerah serta
penduduknya. Pemerintah Kolonial Belanda akan mempertahankan pejabat-pejabat
pribumi yang berhasil melaksana-kan kebijakannya dan yang memberikan upeti
kepada pejabat kolonial. Upeti yang diberikan pejabat pribumi itu berasal dari
hasil eksploitasi mereka terhadap penduduk pribumi. Pola relasi seperti ini telah
melahirkan kebiasaan bangsa pribumi yang memiliki kedudukan tertentu menjilat
penjajah (penguasa) agar kedudukan mereka tetap dipertahankan.
Sedangkan rakyat jelata berusaha
menyelamatkan diri dari tekanan dan ancaman pamong praja yang menjadi kepanjangan
tangan penguasa kolonial dengan berbagai cara termasuk, jika diperlukan,
mengorbankan sesamanya.[9]
Dalam catatan banyak ahli sejarah,
periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa merajalelanya korupsi.
Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia sebagai arena perang,
dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan untuk kepentingan
perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya minyak tanah, yang
diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat diwajibkan untuk
menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat penerangan. Sangat
sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu (Thamrin, 2000).
Korupsi pada masa pendudukan tentara
Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi rakyat, dan terlalu
berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang di kawasan Asia,
sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan
kesejahteraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Thamrin (2000),
ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat pendudukan Jepang
bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa pemerintahan Belanda.
Kedua,
Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk
dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi
telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350
tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja
dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif
tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau
provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang
suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah teritorial
tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen
upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya
diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Ketiga,
Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti
sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Akan tetapi, budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak
serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah
budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku
pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama
Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan
Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang
cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi
praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini. Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural
yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa
tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran
Negara semakin bertambah.
Hal
ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi hancur dan berujung
kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakat
kian melambung tinggi.
Kita
tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998
lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu
adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde
Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi
dikatakan sebagai bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan
oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara,
dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas,
merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi
Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap
darah bagi rakyatnya sendiri.
Relasi
politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh
tidak seimbang. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan
pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran sosial yang
semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM,
telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat
sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari
praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup. Salah satu fakta penting yang bisa
kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela
melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru
dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah
mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar
hutang-hutang luar negeri melalui IMF. Belum lagi dana penggunaan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi
pemabayaran hutang-hutang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi,
yakni ; membebankan pembayaran hutang tersebut kepada rakyat Indoensia yang
sama sekali tidak pernah menikmati hutang-hutang tersebut. Membebankan dengan
memilih, mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi masyarakat.
Membebankan
dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil,
“Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!.
Dari
pemaparan di atas, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi
merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja
dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakatnya
sendiri.
Tidak
bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat
Negara yang semakin meningkat menjadikan masyarakat menarik dukungannya
terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat terhadap pemerintah
bisa dikatakan semakin menurun. Bahkan, cenderung apatis terhadap pemerintah
beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya).
Hal inilah yang melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK diharapkan mampu
menjadi ujung tombak bangsa ini dalam melawan korupsi. Namun, kelahiran KPK
banyak menimbulkan spekulasi opini tentang keberadaan KPK yang dianggap
inkonstitusional .
E.
SEJARAH
HUKUM TIPIKOR DI INDONESIA
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi
masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan
melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai
istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan
Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan
Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Kemudian ada lagi Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1960 dengan munculnya Perppu
tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu
lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI
yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih
dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan
dari dakwaan.[10]
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia
sebagai berikut [11]:
1. Masa
Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan
oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu,
tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan
sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang
langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.[12] Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang
pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau
kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau
tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi
tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara
perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi
yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi.
Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957
merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh
Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap
hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan
Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat
Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan
Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.[13]
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[14] Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai
peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut
pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang- Undang ini
merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24
Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI
1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI
1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian
diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang
tinggi dalam hal penuntasan tindak pidana korupsi. Namun sangat di sayangkan,
sampai saat ini KPK oleh beberapa pengamat hukum di nilai inskontitusional.
Kerena tidak tercamtum dalam UUD 1945 sebagai salah satu lembaga negara.
Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)
sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang
yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh
pejabat yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP
dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan
perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat
mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan
berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan
Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415,
Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP,
Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.
Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur
lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk
aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi
Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan
perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang
telah diatur dalam KUHP.
Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat
ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik
jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait
dengan korupsi.
Ketentuan-
ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif
dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas
masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan
yang terdapat pada KUHP. Kemudian
Indonesia menandatangani konvensi PBB tentang
anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para
koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini,
Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan konvensi ini. Salah satu yang
penting dalam konvensi ini adalah adanya pengaturan tentang pembekuan,
penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[15]
Demikianlah sekilas tentag sejaraah hukum TIPKOR di Indonesia. Saya
berpendapat bahwa, antara sejarah budaya korupsi dengan hukum TIPIKOR di
Indonesia, tidak berbanding lurus. Budaya korupsi d Indonesia telah ada dan
berkembang sejak zaman kerajaan. Budaya korupsi terkesan semakin berkembang dan
tak dapat di bendung lagi.
Peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat menghambat apalagi
menghentiakn budaya korupsi yang terlanjur menjamur alam kehidupan berbangsa
dan bernegara kita. Ini tentulah perlu menjadi renungkan kita semua. Apa yang
harus kita lakukan untuk negara ini agar dapat terlepas dari perankap budaya
korup yang telah membumi di Indonesia.
Produk hukum yang semestinya dapat melindungu negara
ini dari ancaman koruptor, ternyata belum juga dapat memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Apakah produk UU TIPIKOR kita yang tidak efektif, ataukah lembaga
peradilannya, atau penegak hukumnya. Menurut Friedman dalam teorinya “ Three element of legal system”; ada
tiga unsur sistim yang sangat menentukan dalam penegakan hukum, yakni:Pranata
hukum (Legal Structure), subtansi
hukum (Legal Subtance), dan budaya
hukum (Legal Culture). Kesemua sistim
yang di kemukakan Friedman hendaknya dapat berjalan dengan baik secara
bersama-sama. Namun, dewasa ini untuk menerapkan tiori tersebut dalam kehidupan
nyata, tentulah agak sulit rasanya. Apa lagi Indonesia, budaya korupsi telah
terlebih dahulu menjadi budaya bahkan telah mampu merusak sisitim hukum yang
ada di Indonesia. Namun, untuk kedepannya peran para penegak hukum sangat
menentukan untuk memberantas budaya korupsi di Indonesia.
Walaupun kita punya budaya hukum yang tidak baik, namun ketika hukum di
jalankan oleh penegak hukum yang bermoral dan mengerti hukum, tentulah budaya
hukum kita yang buruk akan tertutupi oleh kijerja para penegak hukum kita yang
baik. Bukankah hakim merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan
hukum, yakni ketrtiban dan keadilan. Karena Korupsi yang saat ini mendera masyarakat Indonesia telah
berakar kuat karena adanya proses yang cukup panjang. Tidak hanya di Indonesia,
tetapi semua bangsa juga berakar dari sejarah ke masa silam. Korupsi adalah
suatu gejala sosial dalam sejarah (masa lalu) dan masa kini.
F.
SEJARAH LAHIRNYA LEMBAGA KOMISI
PUMBERNTASAN KORUPSI.[16]
Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002. Tututan reformasi menjadi salah
satu alasan lembaga ini di bentuk. Tidak efektif dan efisiennya lembaga penegak
hukum yang ada dalam memberantas tindak pidana korupsi juga menjadi alasan lahirnya
KPK. Sebelun lahirnya UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Negara kita juga telah
memiliki undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Antara lain adalah UU NO
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi, Dan Nepotisme , UU NO 31 Tahun 1999, UU NO 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah adanya UU NO 30 tahun 2002, adalagi UU NO 7 Tahun 2006.
Selain adanya
undang-undang tersebut diatas, negara kita juga pernah memiliki lembaga-lembaga
khusuh TIPIKOR. Berikut enam
lembaga negara yang pernah di bentuk dan berhubungan dengan tindak pidana
korupsi .[17]
1. Tim Pemberantasan Korupsi
Tim
ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang
bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
2. Komisi Empat (Januari-Mei 1970)
Dibentuk
melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi
pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen
administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah.
Selain Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite
Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan
kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
3. Operasi Penertiban (1977-1981)
Dibentuk
melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban
uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
4. Tim Pemberantas Korupsi (1982)
Tim
Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya
Keppres baru.
5. Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (1999)
Dibentuk
melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan
pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi sub bagian pencegahan dalam
Komisi Pemberantasan Korupsi.
6. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (2000-2001)
Dibentuk
melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit
ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (juducial
review) Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar.
Dari
uraian diatas, dapat kita pahami bahwa keingingan negara ini untuk bebas dari
perangkap korupsi sangatlah kuat. Namun, dari sekian banyak lembaga yang ada,
tidak ada lembaga yang khusus mengupayakan upaya pencegahan terhadap tindak
pidana korupsi kecual Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (1999). Akibatnya, korupsi
sampai saat ini tak kunjung berhenti. Bahkan semakin menjadi-jadi bagai bola
salaju (snow bool). Berbagai
alasanpun muncul menyikapi persoalan korupsi yang tiada hentinya di negri ini.
Ada yang menyebutkan bahwa ini di sebabkan karena persoalan moralitas,
persoalan tumpang tindih kewanangan antara lembaga penegak hukum, persoalan
warisan budaya dari penguasa-penguasa sebelumnya dan lain sebagainya.
Apapun
alasannya, yang jelas bangsa ini terkesan tidak akan mungkin bisa lepas dari
masalah korupsi. Bahkan, wacana hukuman matipun bagi para koruptor muncul untuk
mengekspresikan kekecewaan rakyat terhadap lembaga penegak hukum dan yang ada
di Indonesia. Apa yang salah dengan
ideologi bangsa kita? Kita tidak mampu untuk menegakan pilar-pilar ideologi
untuk kemajuan pearadaban kita.
Dahulu
korupsi hanya di lakukan oleh pejabat-pejabat senayan. Namun sekarang semenjak
adanya undang-undang otonomi daerah, pejabat pemerintah, pejabat pemerintah
daerah sampai pejabat desa banyak yang
tersandung kasus korupsi. Kalau sudah seperti ini, apakah kita masih menyalahkan
UU yang di buat penguasa? Padahal tujuan dari otonomi daerah salah satunya
adalah percepatan pembangunan, bukan penghambatan pembangunan daerah.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003 berdasarkan
UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam UU
tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK
memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi
penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki
lima juga tugas utama yaitu :
1. Penyelidikan-Penyidikan-Penuntutan
2. Koordinasi
3. Supervisi
4. Pencegahan
5. Monitoring
Diawal
berdirinya, KPK dipimpin oleh Taufiequrachman Ruki yang dilantik pada
tanggal 16 Desember 2003 bersama empat Pimpinan KPK lainnya, yaitu
Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak H. Panggabean, dan Erry Riyana
Hardjapamekas.[18]
Di
masa awal berdirinya KPK, bisa dikatakan modalnya adalah “Nol Besar”. Para
Pimpinan KPK dilantik tanpa gedung kantor untuk bisa bekerja dan tanpa
karyawan. Mereka bahkan membawa staf dari kantor lamanya masing-masing dan
menggajinya sendiri. Tak berapa lama, baru muncul tim dari BPKP yang
menjadi karyawan pertama di KPK. Waktu berlalu dan tim tambahan dari
Kejaksaan maupun Kepolisian, mulai datang untuk bekerja di KPK.
Demikianlah
sekilas tentang kemunculan KPK di Indonesia. Eksistentensi KPK di harapkan
dapat membersihkan negri ini dari korupsi. KPK di harapkan bebas dari
intervensi dalam bentuk apapun, serta tidak tebang pilih dalam mengusut kasus
korupsi. Semoga kedepan semua lembaga peradilan yang ada di Indonesia dapat
mewujudkan tujuan hukum yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan.
G. KESIMPULAN
Sejarah
secara umum mempelajari tentang perjalan waktu masyarakat dalam tolitasnya.
Sedangkan sejarah hukum adalah bagian dari sejarah umum, atau merupakan sub
bagian dari totalitas perjalanan waktu masyarakat. Namun, sejara hukum dapat
mendeteksi perjalanan hidup manusia dari waktu ke waktu, karena hukum menyentuh
semua aspek kehidupan manusia. Dalam ilmu sejarah umum seperti sejarah politik,
sosiologi, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, seharusnya sejaharawan dapat menemukan
sejarah hukum di dalamnya. Karena
hukum juga terlibat dan mempengaruhi interaksi manusia yang satu dan lainnya
dalam suatu peradaban. Seperti apa yang di katalan oleh Cicero “ Dimana ada masyakat, disitu ada hukum“.
Tentang manusia, Aristoteles nemdefenisikan manusia sebagai makhluk sosial.
Artinya, hukum selalu ada ketika ada dua orang atau lebih yang berinteraksi
sebagai makhluk sosia dalam perjalanan waktu kehidupan masyarakat. Jadi,
persoalan sejarah hukum seharusnya juga menjadi persoalan bagi sejarawan umum
dalam penenmuannya tentang sejarah politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Dan dari penemuan-penemuan tersebut, dapat di susun atau di tulisa dalam literatur khusus sejarah hukum.
Tujuan akhir dari sejarah hukum adalah´menunjang dan bermuara pada didalam
penulisan sejarah secara integral tidak boleh melenyapkan tujuan parsiil yang
spesifik dan perlu ada perlu ada dari disiplin ini (dari permukaan), yakni
penemuan dalil-dalil dan kecendrungan-kecendrungan perkembangan hukum.[19]
Masalah sosial yang muncul dalam
sejarah perjalanan bangsa ini tidak hanya menarik untuk dikaji dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melainkan juga bisa menjadi bahan pelajaran yang
menarik dikembangkan dalam pembelajaran sejarah.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia,
persoalan korupsi dengan berbagai pertanyaan yang harus dijawab saat ini dapat
dikatakan atau disepakati telah mengakar dan membudaya. Para pengamat korupsi
banyak yang memaparkan mengenai asal-usul korupsi pada hakikatnya telah ada
sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal sistem pemerintahan
feodal (oligarki absolut).
Secara sederhana dapat dikatakan
pemerintahan yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan yang dipimpin
oleh kaum bangsawan (raja-raja atau sultan) yang notebene memiliki kekuasaan
penuh. Korupsi yang ada saat ini berasal dari masa lalu yang bertumpu pada
kekuasaan “birokrasi patrimonial” dan bertumpu sistem feodal.
Mentalitas feodal yang belum
hilang pada jati diri bangsa inilah salah satu sebab sulitnya membangun
masyarakat yang bersih dari korupsi serta membangun masyarakat modern. Feodal
juga tidak bisa kita salahkan sepenuhnya karena Jepang yang dulunya mungkin
sampai saat ini merupakan negara feodal mampu bangkit dan maju. Mereka mampu
mengendalikan zaman dengan feodalnya, bukan tertinggal zaman dengan alasan
adanya mental feodal. Hendaknya apa yang di contohkan Jepang dapat menjadi
salah satu reverensi kita untuk membangun hukum di negara kita.
Penelitian sejarah terhadap
hukum masih sangat di perlukan di negri ini, kurangnya sejaharawan yang
meniliti tentang hukum khususnya hukum TIPIKOR negara ini, menurut saya bisa
menjadi salah satu alasan kenapa kita tidak bisa bangkit dari keterpurukan
budaya korup yang melanda bumi pertiwi ini. Korupsi telah menjalar hampir
keseluruh lapisan masyarat.
Sudah saatnya penelitian
sejarah tentang korupsi menjadi salah satu reverensi utama dalam pembangunan
hukum TIPIKOR di masa yang akan datang. Pergeseran budaya ternyata membuat
budaya korupsi di negara in semakin berkembang. Dalam hal ini tentulah kita
sangat membutuhkan produk hukum TIPIKOR yang juga mengakomodir kepentingan
budaya Indonesia secara utuh.
Demi mengejar ketertinggalan
produk hukum TIPIKOR kita dengan budaya korupsi yang telah lebih dulu lahir dan
berkembang di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Untuk melawan budaya korup
yang telah melahirkan sebuah sistim perampokan kekayaan negara, maka di
perlukan pula sistim yang benar-benar kuat untuk membasmi budaya korup di
negara kita. Karena untuk melawan sebuah sistem haruslah dengan sitem yang
lebih kuat, dan itu adalah produk hukum TIPIKOR yang baik serta di jalankan
oleh penegak hukum yang bermoral dan bermartabat.
[1]
Wikipedia bahasa Indonesia
[3]
Refleksi Struktur Ilmu
Hukum. Hal :1
[4] Sudikno Metokusumo.Sejarah Peradilan Dan Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak
Tahun1942 Dan Apakan Kemanfaatannya Bagi Kita Bnagsa Indonesia. Hal : 41
[5]
Prof. Dr Benard Arif
Sidharta, SH. Refleksi Struktur Ilmu
Hukum. Hal :17
[6]
Fesdiamon .Makalah Sejarah Lahirnya UU NO 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.Hal : 4
[7] Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi
Di Indonesia
[8]
Amien
Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
[11] Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22
[12] Martiman Prodjohamidjojo,
Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999).
Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13
[13] Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta 2005
[14] Konstitusi RIS dicabut dengan
berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5
Juli 1959
[15] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,
Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.
[16]
Fesdiamon.Makalah Sejarah Lahirnya UU No 30 Tahun 2001
Tentang KPK
[18]
http://aalmarusy.blogspot.com/2010/12/sejarah-lembaga-kpk.html
[19]
Gillisen & Firts Gorle. Sejarah Hukum. Hal : 12
DAFTAR PUSTAKA
Jhon Gillisen
& frits Gorle.Sejarah Hukum .
PT.refika aditama. Bandung. Cet V.2005.
Sudikno
Metokusumo.Sejarah Peradilan Dan
Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak Tahun1942 Dan Apakan Kemanfaatannya
Bagi Kita Bnagsa Indonesia. Universitas Atmajaya Yogyakarta.2011
http://benangmerah-sejarah.blogspot.com/2010/04/sejarah-korupsi-di-dunia.html
Benard Arif
Sidharta.Prof.Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandiri
Maju. 2009
Fesdiamon
.Makalah Sejarah Lahirnya UU NO 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.2012
Artikel Herdiansyah Hamzah. Membongkar
Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia.
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/05/antasari-antikorupsi-antisirri-menulis-sejarah-korupsi-bumi-pertiwi-bareng-rani-juliani/
Amien Rahayu SS,
Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
Martiman
Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian
Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju,
Bandung 2001,
Jur. Andi
Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui
Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2005
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik,
Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008