Kamis, 30 Agustus 2012

“Sungai Penuh” Tidak Layak Untuk Nama Kota otonom


“Sungai Penuh” Tidak Layak Untuk Nama Kota otonom
Oleh : FESDIAMON

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]

Sungai Penuh sebelum menjadi kota otonom adalah nama dari salah satu Kecamatan di Kabupaten Kerinci. Sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat Kerinci yang mengingikan adanya percepatan pembangunan dalam segala sektor, maka Kabupaten Kerinci di mekarkan menjadi dua daerah otonom, yakni Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh sebagai kota otonom dengan di keluarkannya UU 25 Tahun 2008. Seiiring dengan perjalanan waktu, perkembangan kota otonom ini sejak tahun 2008 hingga sekarang  banyak sedikit telah melaksanakan tugasnya sebagai kota otonom, yakni percepatan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam menjalankan fungsinya sebagai daerah otonom hasil pemekaran dari Kabupaten Kerinci, timbul beberapa persoalan yang menurut sebagian masyarakat Kota Sungai Penuh dan kami sendiri, sangat krusial untuk kelangsungan pembangunan Kota Otonom ini. Yakni, tentang nama “Sungai Penuh” yang di berikan kepada kota otonom hasil pemekaran Kerinci ini. Nama “ Sungai Penuh” menurut kami tidak dapat mewakilli asas otonomi yang menginginkan adanya kehususan dan keistimewaan suatu dearah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau lebih tepatnya tidak dapat mewakili etnis dan budaya yang mendiami kota Otonom hasil pemekaran Kabupaten Kerinci , dan masih banyak alsan lain.

Pemberian nama Kota otonom ini dalam UU 25 Tahun 2008, menurut kami tidak aspiratif, dan ini juga bertentangan dengan asas otonomi daerah yakni melibatkan peran serta masyarakat dalam menentukan arah pembangunan. Idealnya dalam pembentukan serta penegakan hukum untuk kepentingan masyarakat, hendaknya produk hukum dalam hal ini adalah UU, adalah produk hukum yang resposnsif yakni hukum yang dapat merespon kepentingan dari masyarakat, yang langsung bisa menjawab kebutuhan masyarakat atau keinginan masyarakat. Maka dari itulah hukum yang responsif haruslah aspirstif, artinya melibatkan masyarakat secara langsung dalam pembentukan UU. Dalam hal pembentukan UU 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Otonom Sungai Penuh, menurut kami sangat tidak aspiratif terutama dalam pemberian nama kota otonom. Meskipun teleh melaluai proses legislasi di DPRD Kerinci, yang menurut kami sarat dengan kepentingan kelompok politik pada waktu itu. Pemberian nama “Sungai Penuh” dalam Pembentukan Kota Sungai Penuh adalah pembentukan hukum yang represif, yakni hukum di bentuk hanya untuk melegitimasi kehendak penguasa pada waktu itu, tanpa menggali niliai-nilai yang ada di tengah masyarakat.

Oleh karena itulah kami menganggap bahwa nama “Sungai Penuh” sangat tidak layak untuk menjadi nama kota otonom hasil pemekaran Kabupaten Kerinci. Banyak masalah yang akan muncul dengan nama “Sungai Penuh” ini, misalnya dalam penyebutan nama kota otonom itu sendiri, dengan penyebutan nama desa dan kecamatan, yang sama-sama disebut “Sungai Penuh”. Ini menurut kami telah terjadi konflik kaedah yang berkembang di tengah masyarakat. Belum lagi persoalan identitas daerah, “Sungai Penuh” tidak dapat mewakili identitas atau karakter budaya dari empat kecamatan lainnya yang berada dalam naungannya. Sehingga kedepan Kota Otonom Sungai Penuh tidak dapat berkarakter dalam budaya. Ini penting untuk dapat menjadi perhatian Pemerintah Kota Suangai Penuh dan DPRD Sungai Penuh, karena ini adalah aspirasi dari masyarakat Sungai Penuh.

Untuk mengganti nama kota otonom ini, bukanlah persolaan yang sulit seperti halnnya dalam pembentukan UU kota otonom ini. Penggantian nama daerah adalah hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Untuk mengganti nama kota otonom, tidaklah harus kita mengganti  UU 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Otonom Sungai Penuh. Namun cukup dengan Peraturan Pemerintah, seperti yang telah di amanatkan oleh pasal 7 ayat 2 UU 32  Tahun 2004 bahwa Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.  Jadi, tidak harus kita merubah UU 25 Tahun 2008. Perubahan nama kota cukup dengan usulan daerah yang kemudian di normakan dalan Peraturan Pemerintah.

Banyak daerah yang telah mengganti nama daerahnya, berdasarkan keinginan daerah misalnya pada provinsi Sulawesi Barat yakni perubahan nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar, di daerah Kepulauan Riau juga pernah terjadi pergantinan nama daerah. Maka dari itulah kami menghimbau kepada pemerintah daerah  agar dapat menindaklanjuti apa yang menjadi keinginan dari masyarakat yang bernaung dalam Kota Sungai Penuh. Dan menurut kami untuk sebuah nama adalah hal yang amat penting. Mendengar dari aspirasi masyarakat Sungai Penuh pada umumnya, bahwa kami menginginkan nama kota ini di ganti menjadi Kota Kerinci. Nama kota Kerinci dapat mewakili identitas masyarakat kota otonom dalam berbudaya, dan dapat menjadi solusi dalam mengatasi konflik kaedah yang terjadi ditengah masyarakat tentang penyebutan nama Kota Otonom, Desa, dan Kecamatan yang sama-sama di sebut “Sungai Penuh”. Hal ini tentunya juga penting demi kelangsungan pembangunan yang aspiratif.