Kamis, 27 September 2012

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-IX/2011


KONTROVERSI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 79/PUU-IX/2011
TENTANG UJI MATERIIL PASAL 10 UU NO 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA
Oleh : FESDIAMON

  1. PENDAHULUAN
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini termaktub dalam pasal 1 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai salah satu lembaga yudikatif di Indonesia yang bertugas menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutuskan pembubaran partai politik, dan memmutuskan tentang perselisihan hasil pemilihan umum, keputusan yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final. Yang di maksudkan dengan keputusan bersifat final adalah keputusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak di ucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat di tempuh.

Oleh karena kewenangan MK yang bersifat final inilah, lembaga ini menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia dalam hal pencapai tujuan hukum sebagai negara yang berdaulat dalam kedaulatan hukum.

Mahkamah Konstitusi telah banyak mengeluarkan keputusan mengenai wewenangnya terhadap pengujian UU terhadap UUD 1945. Salah satunya adalah putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 Tentang Uji Materil Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Atas gugatan Yudisial Review yang di ajukan oleh GN-PK pada tanggal 25 Oktober 2011 yang telah dikabulkan sebagian oleh MK, terutama tentang penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008.

Mengenai putusan MK ini tentulah terdapat banyak kontroversi, menurut saya keputusan MK ini berhubungan langsung dengan kekuasaan, yang mana biasanya kekuasan selalu dapat menyeret keadilan bersama produk hukum yang di buatnya. Dengan adanya keputusan MK yang bersifat final maka setidaknya sedikit dapat mengurangi peran pengusa untuk menyeret hukum demi kepentingan kelompok atau individunya. Maka teori Trias Politika di negri ini sebenarnya sudah mulai dapat memeberi manfaat bagi kepastian hukum.

Putusan MK tentang penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 ini, bagi sebagian orang beranggapan bahwa wakil menteri yang telah diangkat oleh presiden harus segera diberhentikan, dan sebagiannya lagi berpendapat bahwa posisi wakil menteri tidak perlu di ganti, tapi perlu yang di ganti adalah Perpres tentang pengangkatan wakil menteri tersebut. Perbedaan penafsiran hukum tentang keputusan MK ini adalah hal wajar sebagai negara hukum yang berdaulat. Ada yang melihat dari sudut pandang politik hukum, terori hukum, dan normatif hukum. Di tambah lagi banyaknya paham yang mempengaruhi pembentukan serta penegakan hukum di negeri ini. Pada makalah sederhana ini saya akan mencoba mengupas masalah kontroversi putusan MK ini dalam sudut padang teori serta politik hukum. Dalam penulisan makalah sederhana ini tentulah banyak kekurangan, maka ari itulah saran serta kritikan yang konstruktuf sangat di butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Selamat membaca.


                                                                                    Jambi, 21 Juni 2012
                                                                                                           
  1. Putusuan MK No 79/PUU-IX/2011 di pandang dari sudut Politik Hukum

Politik hukum adalah kebijakan arah hukum yang akan di berlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan yang telah di tentukan, yang dapat mengambil bentuk sebagai pembuatan hukum baru dan sebagai pengganti hukum yang lama. Politik hukum dapat juga di artikan sebagai konsep atau azas unutuk membentuk hukum di masa yang akan datang (Ius constitutum). Menurut Bagir Manan “ tiada negara tanpa politik hukum poitik hukum. Ruang lingkup politik hukum adalah politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum”.

Dengan pengertian politik hukum di atas jelaslah bahwa politik hukum sangat menentukan bagaimana produk dan proses pembentukan hukum yang di keluarkan oleh penguasa dapat menjamin keadilan serta kepastian hukum bagi warga negaranya. Dalam pembentukan suatu UU idealnya penguasa harus melibatkan partisipasi masyarkat, atau yang sering kita sebut dalam pembentukan hukum yang responsif, yaitu pembentukan hukum pertisipatif. Yakni, dalam pembentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat.[1]

Dalam hal pemerintah maupun legislatif pada saat pembentukan UU no 39 Tahun 2008 yang di ajukan oleh eksekutif apakah sudah melibatkan masyarakat dalam pembentukan UU tersebut?. Banyaknya UU yang telah dikeluarkan yang kemudian di gugat oleh masyarakat, ini membuktikan bahwa pemerintah tidak melibatkan masyarakat secara maksimal dalam pembentukan hukum di Indonesia. Salah satunya mungkin tentang pembentukan UU no 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara yang tidak melibatkan masyarakat, sehingga menimbulakan kontroversi di kemudian hari.
Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 menurut pemohon bertentangan dengan pasal 17 dan pasal 28D ayat 3 UUD 1945. Pada pasal 17 UUD 1945 tidak diatur tentang wakil menteri. Namun, menurut Mahkamah Konstitusi bahawa preisiden dapat mengangkat menteri dan logikanya juga dapat mengangkat wakil menteri. Meskipun dalam pasal 17 UUD 1945 tidak menyebutkan adanya wakil menteri, namun menurut Mahkamah Konstitusi maka berlakulah azas umum dalam hukum, yakni “sesuatu yang tidak di perintahkan dan tidak di larang itu boleh dilakukan”. Maka, pengangkatan wakil mentri di bolehkan. Namun, di atur dalam UU yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Seharusnya, masalah  multi tafsir seperti ini tidak perlu ada lagi sebagai negara hukum, apa lagi untuk sebuah kementerian yang sangat berperan dalam membantu presiden menjalankan roda pemerintahan.

UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi alasan konstitusional Presiden untuk mengangkat wakil menteri di dalam jajaran kementerian tertentu. Kedudukan wakil menteri ini kemudian di nilai Inskontitusional bagi sebagian pihak. Ini di karenakan bahawa pada pasal 10 UU 39 Tahun  2008 Tersebut disebutkan bahwa wakil mentri adalah jabatan karir yang bukan merupakan anggota kabinet. Disini tentulah menimbulkan kerancuan hukum, baik pada penjelasan UU nya yang berimbas pada Perpers yang mengangkat wakil mentri. Menurut Mafud MD Penjelasan pasal 10 tidak singkron dengan pasal 9 ayat 1 UU No 39 Tahun 2008. Sebab menurut pasal tersebut susunan organisasi kementrian terdiri atas unsur : pemimpin yaitu menteri, pembantu pemimpin yaitu sekretaris jendral, pelaksana tugas pokok yaitu Direktorat Jendral, pengawas yaitu Inspektorat Jendral, pendukung yaitu badan ataun pusat, dan pelaksana tugas pokok di daerah dan atau perwakilan luar negri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[2]
Melihat apa yang di sampaikan oleh Mafud MD selaku ketua Mahkamah Konstitusi, maka posisi wakil mentri jelas bertentangan dengan UU Kementerian Negara itu sendiri. Presiden dalam hal mengangkat wakil menteri juga tidak bisa kita salahkan, karena pengangkatan wakil menteri telah di atur dalam UU 39 tahun2008. Yang jadi persoalan adalah tidak singkronnya antara pasal dan penjelasan pasal dalam UU Kementerian Negara tersebut.

Kasus seperti ini bukan yang pertama di Indonesia, ini menujukkan kemampuan politik hukum para eilit bangsa ini tidak mampu mewujudkan kepastian hukum. Sehingga, terjadi tumpang tindih penafsiran serta penerapan hukum. Maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan tentang penjelasan pasal 10 UU No 38 tahun 2008 tesebut, yang sebelumnya menyebutkan bahwa wakil mentri adalah pejabat karir yang bukan anggota kabinet. Jabatan karir yang dimaksudkan dalam pejelasan pasal 10 tersebut adalah Pegawai Negri Sipil. Namun, tidak jelas apakah struktural atau fungsional. Pada prekteknya wakil mentri seakan-akan adalah jabatan politis.

Kalau pada jabatan-jabatan struktural wakil mentri tersebut haruslah menduduki jabatab Eseolon 1A seseuai dengan hukum kepegawaian, dan pembinaanya di bawah Sekretaris Jendral. Dan kalau di katakan sebagai jabatan fungsional malah aneh, sebab jabatan fungsional bersifat tertentu terhadap suatu bidang dan bukan jenis profesi atau keahlian yang berbeda-beda yang kemudian di jadikan satu paket sebagai jabatan fungsional, demikaian yang di utarakan pimpinan Badan Kepegawaian Nasional alam kesaksiannya dalam persidangan.

Inilah yang menjadi salah satu alasan MK mengabulkan sebagaian dari gugatan yang di ajukan GN-PK. Penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 yang bertantangan dengan UUD 1945 di anggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut MK jabatan wakil mentri konstitusional, dan yang telah di angkat sekarang adalah  inskonstitusioanal, karena setelah keluarnya keputusan MK ini presiden harus memperbaiki keppres tentang pengangkatan wakil menteri.[3] Dan wakil menteri jelas tidak dapat lagi mengeluarkan kebijakan sebelum adanya keppres baru tentang penggangkatan  wakil mentri pasca keputusan MK.

Dalam sudut pandang politik hukum, jelaslah bahwa kondisi ini menujukaan politik hukum kita sangat lemah. Baik dalam hal perumusan undang-undang yang antara pasal dan penjelasannya bertentangan, serta antara pasal dalam UU masih terdapat pertentangan. Seperti UU 39 Tahun 2008 itu sendiri, antara pasal 9 ayat 1 tidak singkron dengan pasal 10 yang kemudian berdampak pada keberlakuan UU. Sehinga setiap UU yang dikeluarkan harus di uji kembali di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal mengeluarkan keputusan, Makamah Konstitusi hanya menguji UU terhadap UUD 1945, bukan memberhentikan atau mengangkat wakil mentri. Persoalan pengangkatan wakil mentri adalah wewenang presiden yang di atur oleh UU.

Namun, dalam pengangkatan wakil menteri pasca putusan MK ini, presiden haruslah mengacu pada putusan MK yang telah merobah penjelasan pasal 10 UU 39  Tahun 2008 tersebut. Jadi, menurut saya hanya di ganti keppresnya saja kalau presiden masih ingin memakai wakil menteri yang sekarang atau pun menggati dengan yang lain.

Dalam penjelasan 10 UU 39 Tahun 2008 telah menganut norma baru, menurut MK dalam penjelasan UU tidak di perbolehkan menganut norma baru. Produk UU seperti ini tentulah membuat kita binggung dalam mempososisikan politik hukum pembentukannya. Maka jelas sekali bahwa pengangkatan wakil menteri menurut saya adalah arogansi penguasa dalam mengakomodir kepentingan kelompoknya dengan memanfaatkan produk hukum kita yang lemah dan multi tafsir. Sebagai negara hukum yang berdaulat (Nomokrasi), seharusnya produk hukum yang di keluarkan penguasa haruslah produk hukum yang dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri, kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban, bukan untuk mencapai tujuan dari “kekuasaan” yakni menguasai.

  1. Putusuan MK No 79/PUU-IX/2011 di pandang dari sudut Teori Hukum

Teori hukum merupakan ilmu yang mempelajari hukum sebagai produk dan bukan hukum sebagai proses. Produk  hukum yang di keluarkan oleh sebuah negara hukum, hendaknya harus benar-benar dapat menjadi panglima bagi kemajuan perdaban. Posisi hukum harus selalu di tempatkan pada porsi yang seharusnya, yakni dapat melindungi segenap kepentingan rakyat terutama dalam mewujudkan keadilan dan ketertiban.

Syarat sebuah negara hukum adalah adanya azas legalitas, adanya perlindunngan terhadap HAM, dan adanya peradilan yang merdeka dan tidak memihak.[4] Adanya azas legalitas maksudnya adalah adanya kepastian hukum, legalitas haruslah memiliki tiga syarat yakni tertulis, tidak multi tafsir, dan tegas. Perlindungan terhadap HAM, adalah hukum di harapkan dapat melindungi HAM setiap warga negaranya, sedangkan adanya peradilan yang merdeka adalah adanya perdalilan yang benar-benar bebas dari intervensi dalam bentuk apapun.

Dari keterangan di atas tentulah dapat kita simpulkan apakan negara kita Indonesia benar-benar telah menjadi negara hukum atau belum. Sebagai negara yang demokratis, seharusnya kita juga telah apat berdemokrasi dan berdaulat dalam hulum (Nomokrasi). Namun, menurut saya apa yag terjadi dewasa ini adalah jauh api dari panggangan. Hukum malah terpasung dalam demokrasi itu sendiri. Idealnya tujuan hukum adalah mewujudkan ketertiban dan keadilan serta kepastian hukum, dewasa ini hukum semakin nyata sebagai alat bagi penguasa untuk melindungi kepentingannya. Hal ini jelas bertentangan dengan amanah konstitusi serta rechts ide yang terkandung di dalam politik hukum kita.

Secara teoritis keberadaan Mahkamah Konstitusi di perkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif di jamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif di berikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jka menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat di adakan organ khusus seperti pengadilan hukum yang di sebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap kontitusionalitas Undang-Undang (judicial review) di berikan kepada pengadilan biasa, khsusnya Mahkamah Agung. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat mengahpuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat di aplikasikan oleh organ lain.

Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas Undang-Undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak dan menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-unang tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.[5]
  
Mengenai putusan MK, yang telah menguji penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 di lihat dari sudut pandang epistomologi hukum yakni apakah putusan hukum dapat memberi manfaat? Dan berdasarkan apa yang diugkapkan oleh Hans Kelsen diatas maka saya lebih sepakat kalo putusan MK telah memberi kepastian hukum bagi Wakil Menteri yang di angkat Presiden. Mengenai manfaat, jelas ini bermanfaat bagi kelangsungan ketatanegaraan kita. Namun, perlu kita ketahui bahwa putusan MK tidaklah mengerungi wewenang presiden dalam tugasnya  sebagai kepala pemerintahan dan negara. Artinya, dengan di keluarkannya putusan MK mengenai pejelasan pasal 10 UU 39 Tahun 2008, presiden tetap di bolehkan mengangkat wakil mentri yang telah di amanahkan oleh UU. Namun, hanya saya pada proses pengangkatan yang mewakili status Wamen tersebut yang harus di perbaharui. Kalau sebelum adanya putusan MK Wamen adalah jabatan karir, dengan adanya putusam MK tentulah Wamen tidak tepat lagi di katakan sebagai jabatan karir, apalagi melihat kronologis pengangkatan Wamen sebelum adanya putusan MK yang cenderung memposisikan Wamen pada jabatan politis.

Menurut pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, Presiden berhak untuk kembali mengangkat wamen atau tidak. Kalau ingin mengangkat mereka lagi, harus dengan Keppres baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memberhentikan 20 wakil menteri (wamen) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan pengangkatan mereka bermasalah. Lebih lanjut lagi Yusril mengatakan bahwa Wamen tidak boleh bekerja dulu sampai ada Kepres baru yang mengangkat mereka. Secara materiil, keberadaan mereka sudah tidak ada lagi, artinya mereka tidak boleh melakukan tindakan apapun atas nama jabatan tersebut.[6]

Putusan MK tentang pejelasan pasal 10 UU No 38 Tahun 2008 adalah putusan mengenai ketatanegaraan dan pemerintahan kita. Konsep ilmu ketatanegaraan adalah kekuasaan. Isi dari UUD 1945 pada prinsipnya terdiri dari beentuk negara, azas kenegaraan dari suatu negara, lembaga-lembaga negara, kekuaasaan dan sisitim pemerintahan, dll.[7]

Makamah Konstitusi adalah bagian dari apa yang terkandung dalam UUD 1945, dan begitu juga dengan kementerian negara. Namun, terdapat perbedaan kewenangan dari kedua lembaga negara tersebut. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif, sedangkan kementrian adalah bagian dari eksekutif. Dalam teori trias politika hendaknya adanya pembagian kekuasaan pada ketiga jenis lembaga negara, yakni antara eksekutuif, legislatif dan yudikatif, tidak tersentralisasasi pada satu kekuatan politik saja. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut teori trias politika. Idealnya pada pada praktek teori yang di kemukakan oleh John Lucke dan Montesquieui ini Legislatif berperan sebagai lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.[8]

Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

Di Indonesian misalnya dalam pembuatan UU yang pada prakteknya masih saja di buat oleh Pemerintah, meskipun di tetapkan di legislatif. Seharusnya tugas eksekutif adalah pelaksana UU tapi pada prakteknya malah ikut membuat UU. Sehingga banyak UU kita selalu terpasung dan tersusupi oleh kepentingan penguasa. Penerapan teori trias politika yang tidak pada porsinya jelas telah banyak membuka peluang untuk penyalahgunaan kekuasaan, bahkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Karena penerapan teori tria politika yang seharusnya adalah pembagian kekuasaan, di Indonesia di praktekkan sebagai kolaborasi kekuasaan.

Memang pada negara modren teori trias politka ini sulit untuk di terapkan, kerena pada negara modren masing-masing kekuasaan di perlukan kerja sama. Pembagian kuasaan lebih di praktekan pada upaya alternatif mengatasi kesulitan pembagian kekuasaan dalam praktek kenegaraan. Selain trias politika banyak lagi teori tentang ketatanegaraan, misalnya seperti apa yang di kemukakan oleh Van Vollenvoven dalam teori catur praja membagi kekuasaan (tidak memisahkan) kekuasaan dalam empat fungsi, yakni bestuur (keprsjaan/pemerintah dalam arti sempit), politie (kepolisian), justitie (peradilan), dan regeling (perundang-undangan).

Teori catur praja ini mendapat banyak kritikan, tetapi dalam perkembangan sejarah, teori tersebut sedikit masih banyak di gunakan sebagai pedoman dalam penyelengggaraan/praktek kenegaraan.[9] Di Indonesia pada praktek kenegaraan, menurut saya menganut kedua teori tersebut. Karena sulit untuk melihat adanya teori trias politika di praktekkan sebagai mana mestinya, begitu juga dengan teori catur praja.
Kembali kita pada putusan MK yang merupakan bagian dari ketatanegaraan kita. Menurut saya apa yang telah di putuskan MK telah sesuai dengan fungsi kelembagaannya baik di lihat dari sudut teori yang kemudian dapat pula dilihat dari sudut pandang normatif hukum. Yang bermasalah adalah pada proses pembuantan UU tersebut, yang tidak berjalan sebagai mana mestinya menurut teori hukum diatas terutama trias politika. Sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum serta multi tafsir.

Menurut mantan ketua MK Prof. Jimly Asshidiqie,  putusan MK tidak akan berdampak langsung pada pencopotan Wakil Menteri,  MK hanya mengadili UU sesuai apa tidak dengan UUD 1945 dan tidak mengurusi pejabat.[10] Melihat apa yang di sampaikan Prof. Jimly, bahawa Mahkamah Konstitusi telah berfungsi sebagai mana mestinya. Dan menurut saya yang masih bermasalah itu ada pada eksekutif dan legislatif.

Menurut  Deputi Sekretaris Kabinet Politik, Hukum Dan keamanan Bistok Simbolan,SH.,MH Ia menilai, dengan keputusan MK itu maka jabatan Wakil Menteri adalah sah diangkat oleh Presiden sesuai kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut pasal 4 ayat 1 UUD 1945. “Putusan MK tersebut semakin memperkuat sistem presidensil yang dianut berdasarkan UUD 1945, sekalipun dalam putusan itu dinyatakan bahwa penjelasan Pasal 10 UU Nomor 39/2008 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas Bistok sembari menegaskan, bahwa yang dinyatakan oleh MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah penjelasannya, bukan batang tubuh Pasal 10.

Bistok menyebutkan, bahwa  penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 memuat dua norma, yaitu bahwa jabatan Wamen adalah jabatan karir, dan Wamen bukan merupakan anggota kabinet. Dengan demikian, putusan MK tersebut membuka peluang bagi profesi apapun selain Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menduduki jabatan Wamen. Deputi Bidang Polhukam Seskab itu juga mengingatkan, bahwa dalam pertimbangan MK disebutkan implementasi dari penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tersebut menimbulkan komplikasi karena dalam praktek pengangkatan Wamen diperlakukan seolah-olah bukan sebagai jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Karena itu, MK berpandangan pengangkatan Wamen lebih bersifat politis sekalipun pertimbangan MK tidak tegas-tegas menyatakan Wamen itu sebagai jabatan politik.

Lebih lanjut lagi Bistok menyatakan bahwa “MK mengakui dengan tegas bahwa Presiden mempunyai hak eksklusif untuk mengangkat Wamen, sekalipun ada atau tidak ada Undang-Undang yang mengatur, karena MK merujuk kepada kekuasaan presiden berdasarkan Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945. Karena itu, para Wamen yang sekarang ini telah diangkat dengan Keputusan Presiden (Keppres) adalah sah sesuai dengan pandangan MK tersebut.

Karena itu pula, tidak diperlukan pengangkatan atau pelantikan kembali para Wamen yang ada sekarang, sehingga apabila ada pandangan yang menyatakan para Wamen yang sekarang demisioner, pandangan itu jelas keliru. “Mereka mungkin belum membaca keputusan MK No. 79 tersebut dengan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh para hakim di MK.

Diakui Deputi Bidang Polhukam Seskab bahwa konsekuensi dari putusan MK tersebut akan berdampak pada revisi Perpres yang mengatur tentang syarat-syarat Wamen, karena Perpres yang ada saat ini masih didasarkan pada keberadaan penjelasan Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008, karena penjelasan pasal tersebut sudah dinyatakan tidak mengikat oleh hakim MK. Maka konsekuensinya, Perpres sebagai pelaksana UU tersebut harus dilakukan penyesuaian-penyesuaian.[11]

Dari keterangan deputi bidang kabinet yang notabenenya adalah bagian dari eksekutif , semakin nyata oleh kita bahwa eksekutif dan legislatif kita belum berada pada posisi yang seharusnya berdasarkan teori hukum yang telah di kemukakan. Perlu untuk di tegaskan kembali bahwa putusan MK tidak sedikit pun mengurangi kewenangan presiden sebagai kepala negara. keputusan MK lebih pada bentuk pemberian sanksi administrasi negara kepada presiden yang bertujuan pada mengembalikan keadaan ketatanegaraan kita pada yang semestinya. Artinya, presiden tetap boleh mengankat wakil menteri sesuai dengan beban kerja yang ada pada kementeriannya Namun, pasca putusan MK ini presiden harus merevisi Perpres dan Keppres tentang pengangkatan wakil mentri yang oleh MK telah meniadakan penjelasan pasal 10, dan wakil mentri lebih pada dalam bentuk jabatan politis.












  1. KESIMPULAN

Dalam menyikapi persoalan putusn MK tentang penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hendaknya kita mengacu pada landasan kajian politik hukum serta teori hukum dan normatif hukum ketatanegaraan kita. Di lihat sudut pandang politik hukum, kasus ini jelas beralawal dari proses pembentukan hukum yang tidak responsif, sehingga menimbulkan permasalahan ketidak pastian hukum dalam ketatanegaraan kita. Persoalan ketatanegaraan kita adalah persoalan yang terus berkembang dari masa kemasa sejak kemerdekaan bangsa ini.

Namun, dewasa ini sejalan dengan perkembangan demokrasi kita, hukum malah di kebiri oleh kepentingan penguasa. Sehingga, keadailan dalam hukum selalu mengikuti kemana aturan membawanya, yang aturan itu merupakan pernyataan sikap penguasa terhadap warga negaranya yang kemudian di tafsirkan oleh penguasa sebagai pernyataan kepentingan dalam arti sempit. Seharusnya produk hukum kita dapat menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta dapat memberi kepastian hukum bagi segenap warga negara.

Akibat dari penerapan politik hukum yang tidak sehat, atau yang tidak mengandung rechts ide yang terkandung didalamnya, maka Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya kembali lagi membatalkan produk UU kita yang telah di tetapkan oleh Legistaf bersama Eksekutif. Wakil menteri yang dalam UU Kementerian Negara kita telah diatur sedemikian rupa, ternyata samapai MK malah bermasalah dalam penjelasan pasalnya yakni penjelasan pasala 10. Penjelasan pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa wakil mentri adalah jabatan karir di nyatakan Inkonstitusional oleh MK.

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa jabatan wamen lebih pada jabatan politis. Karena pada praktek pengangkatan wakil menteri oleh presiden tidak berpedoman pada UU Kepegawaian. Masalah ini juga muncul karena dalam penjelasan pasal 10 terdapat norma baru yakni tentang redaksi jabatan karir, yang seyogyanya dalam penjelasan UU menurut MK tidak boleh mengandung norma baru. Hanya karena sebuah redakasi dalam penjelasan pasal telah menghadirkan ketidak pastian hukum yang berakhir di meja persidangan MK.

Mengenai wamen pasca putusan MK, presiden tentulah harus merevisi Keppres tentang pengangkatan wakil mentri dengan Keppres yang baru. Dan wakil menteri sebelum adanya pergantian Keppres tentulah tidak dapat menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya saat sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi.

Bila dilihat dari sudut pandang teori hukum, jelaslah bahwa teori trias politika yang kita anut tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Dan mengenai putusan MK adalah putusan yang menurut saya bersifat mengambalikan pada keadaan sebenarnya dalam ketatanegaraan kita. Maka dari itulah harus kita pahami bahwa dengan adanya putusam MK ini tidak sedikitpun mengurangi wewenang presiden untuk menggunakan wakil mentri dalam kemeentriannya. Namun, presiden  pada proses formil penggangkatan wakil mentri harus mengacu pada putusan MK. Agar dapat menjamin kepastian hukum dan sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.






DAFTAR PUTAKA


Dr. Suhari Lasmadi. Bahan Kuliah Teori Hukum. Jambi. 2009

Pror. Dr. Jilmly Asshiddiqie, S.H. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2009

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum Di Indonesia. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarat. Cet ke 3. 2010

Prof. Dr. Sukamto Satoto, S.H, M.H. Hukum Administrasi Negara. Bahan Ajar Matrikulasi. Jambi. 2010



Metro TV. Rabu, 06 Juni 2012 07:27 WIB     




Dr. Bahder johan Nasution, SH,M.Hum. Pertemuan kuliah politik hukum 13 Juni 2012.

Pertemuan Kuliah Matrikulasi Hukum Tata Negara. 11 Maret 2012

Dr. Suhari .Perkuliahan Teoiri Hukum. Tanggal 4 April 2012.



























[1] Dr. Bahder johan Nasution, SH,M.Hum. Pertemuan kuliah politik hukum 13 Juni 2012.
[2] http://www.shnews.co/detile-2883-soal-wamen-presiden-rentan-digugat.html
[3] http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/06/06/akhir-kursi-panas-wamen
[4] Dr. Suhari .Perkuliahan Teoiri Hukum Tanggal 4 April 20012.
[5] Pror. Dr. Jilmly Asshiddiqie, S.H. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis. Hal :333
[6] Metro TV. Rabu, 06 Juni 2012 07:27 WIB     
[7] Pertemuan Kuliah Matrikulasi Hukum Tata Negara. 11 Maret 2012
[8] http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/trias-politika-pemisahan-kekuasaan.html

[9] Porf. Sukamto Satoto, S.H, M.H. Buku bahan Ajara Marikulasi Hukum Administrasi Negara. Hal : 21
[10] http://www.antaranews.com/berita/314347/legislator-nilai-putusan-mk-soal-wamen-tepat
[11] http://www.setkab.go.id/berita-4610-deputi-seskab-sesuai-keputusan-mk-wamen-sekarang-justru-sah.html