polhukam.rmol.co - Maju di 2014 Jokowi Pasti Menang
" TAKHLUK PADA KEBENARAN "
Kematian adalah hak Kehidupan.Mencintai mati adalah pilihan tepat dalam menaungi hidup, dari pada menghabiskan waktu untuk mencintai kehidupan ini.Hidup dalam membangun perdaban yg manusiawi & mardhatillah adalah qodrat bagi kita sebagai khalifah dimuka bumi ini. Serta pertanggung jawaban di hadapan ALLAH SWT.
Minggu, 14 Juli 2013
Kamis, 28 Maret 2013
HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN MASYARAKAT (LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING)
HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN
MASYARAKAT
(LAW AS A TOOL OF SOCIAL ENGINEERING)
Oleh :
FESDIAMON
A.
Pendahuluan.
Sebagai negara hukum, tentunya hukum menjadi salah satu instrumen penting
dalam pembangunan Indonesia. Pembangunan yang di maksudkan tentunya tidak pada
fisik semata yang terbatas oleh ruang dan waktu tertentu. Melainkan pembangunan
kualitas segenap rakyat Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
yang bersifat proyeksi jauh kedepan. Pada zaman reformasi sekarang ini, hukum
di tuntut menjadi panglima bagi kemajuan bengasa, seiring dengan kemajuan
demokrasi kita. Namun, dewasa ini hukum cenderung terpasung oleh demokrasi itu
sendiri. Demokrasi seharusnya dapat berbanding lurus dengan kedaulatan hukum (Nomokrasi) dalam perjalananya membangun
bangsa ini.
Hukum selalu menjadi tumpuan harapan rakyat Indonesia untuk mewujudkan
keadilan. Keadilan yang menjadi salah satu dari tujuan hukum seharusnya dapat
di praktekan dalam upaya membangun masyarakat, bukan mengadili masyarat dalam
pembanguan dengan dalih bahwa kita adalah negara hukum. Peranan hukum dalam
membangun masyarakat, berarti juga bahwa kedaulatan hukum berada di tangan
rakyat sebagaimana pengertian kedaulatan rayat dalam berdemokrasi. Meskipun
dalam penerapan serta penegakannya antar demokrasi dan hukum berbeda.
Berdemokrasi dalam membangun bangsa haruslah di landasi dengan kedaulatan
hukum yang merupakan cita-cita dari demokrasi itu sendiri. Sehingga barulah
kita dapat membangun bangsa ini dari segala sektor, dan kemudian apa yang di sebut dengan mencerdaskan
kehidupan bangsa dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Jadi peranan hukum dalam pembaharuan dan pembangunan masyarakat adalah hal yang
sangat penting sebagai negara hukum.
Dalam makalah ini akan di uraikan bagaimana hukum seharusnya berperan
dalam pembaharuan masyarakat Indonesia sebagai negara hukum. Semoga makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita dan hukum nasional kita. Kritik dan
saran yang konstruktif tentunya sangat di butuhkan untuk kelengkapan makalah
ini. Selamat membaca.
Jambi,
14 Juli 2012
Penyusun
B.
Landasan
Historis.
Sebelum kita jauh membahas tentang bagai mana hukum berfungsi sebagai
sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, ada baiknya sedikit kita mengulas
secara singkat tentang sejarah hukum di Indonesia.
Kemredekaan Indonesia di tandai oleh
naskah proklamasi yang di bacakan pada 7 Agustus 1945. Naskah proklamasi yang
kemudian secara yuridis telah menjadi kekuatan hukum yang bersifat apnormal.
Bersifat apnormal adalah hukum yang bersumber dari kehendak warga negara dan
untuk kemudian di taati dengan penuh kesadaran. Para deklarator bangsa ini
telah menjadikan proklamasi sebagai landasan hukum untuk memulai tatanan hukum
di Indonesia yang baru saja merdeka. Dengan proklamasi tersebut, maka dengan
satu tindakan tunggal, tatanan hukum kolonial di tiadakan dan diatasnya
terbentuk satu tatanan hukum baru ( Ubi
societas ibi ius ).[1]
Tatanan hukum pada saat itu belum
terkodifikasikan, yang ada hanya hukum dalam bentuk tidak tertulis. Dengan
kemerdekaan yang baru saja di deklarasikan, tentu saja keberadaan hukum positif
secara nasional sangat di perlukan untuk menjamin kepastian hukum serta
mewujudkan ketertiban. Maka dari itulah, Undang-Undang Dasar di tetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945. Dalam UUD 45 disebutkan adanya tiga peraturan negara,[2]
yaitu:
1. Undang-Undang, yang di buat oleh
presiden dengan persetujuan DPR (Pasal 5 Ayat 1);
2. Peraturan Pemerintah, yang di
tetapkan oleh presiden untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 5 Ayat 2);
3. Peraturan Pengganti Undang-Undang
yang di buat oleh presiden dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa (Pasal22),
dan sebagaimana bunyi istalahnya, oleh karena fungsinya adalah sebagai
pengganti Undang-Undang, maka kekuatannya adalah sama dengan Undang-Undang.
Dalam menjalankan kekuasaannya,
presiden perlu mengeluarkan peraturan-peraturan, baik atas namanya sendiri
selaku presiden, yaitu peraturan Presiden, penetapan Presiden dan maklumat
presiden, maupun atas nama pemerintah, yaitu penetapan pemerintah, yang
semuanya itu berdasarkan pada ketentuan bahwa “ Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan Pemerintah menurut Undang-Undang Dasar” (Pasasl 4 ayat 1).
Demikian pula, para menteri dalam memimpin departemen-departemen pemerintahan
perlu juga mengeluarkan peraturan-peraturan, yaitu peraturan mentri dan
maklumat mentri (Pasal 17 ayat3).
Guna memberikan bentuk hukum pada
penyelenggaraan kehidupan sebagai bangsa yang merdeka. Setelah terbentuknya
Undang-Undang Dasar 1945, maka pada saat itu pulalah telah terbentuk tatanan
hukum nasional. Untuk mencegah kekosongan hukum, maka pada Pasal II aturan
peralihan UUD 1945 di rumuskan : “ segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum di
adakan yang baru menurut UUD ini.”
Dalam dekade pertama kehadiran
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat telah di bentuk tata hukum nasional
dengan membentuk beberapa perangkat kaidah hukum positif, kecuali pada bidang
hukum tata negara atau hukum publik pada
umumnya. Pada masa – masa itu adalah masa yang sulit untuk mengisi
kalidah-kaidah hukum di Indonesia. Ini di sebabkan banyak persolan bangsa yang belum
selesai, misalnya agresi militer Belanda I dan II dan pemberontakan PKI-Muso
pada tahun 1948.
Namun, dengan kesadaran serta
cita-cita yang luhur dari para pemimpin bangsa pada waktu itu untuk mengisi
tatanan hukum nasional yang kosong terlihat sangat nyata. Terbukti dengan
banyaknya tulisan atau buku yang di keluarkan oleh ahli hukum di Indonesia yang
pada waktu itu hanya berjumblah sekitar 200 sarjana hukum.
Pada waktu itu kekuasaan di jalankan
sepenuhnya oleh presiden. Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerekaan Indonesia melalui usulan Komite Nasoinal Indonesia Pusat
(KNIP), pada tanggal 16 Oktober 1945 di keluarkan Maklumat Wakil Presiden no X
yang memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP. Kemudian dengan Maklumat
Pemerintah pada tangga 3 November 1945 pemerintah menganjurkan di bentuknya
partai politik, yang kemudian munculah 10 partai politik yang berbeda ideologi.[3]
Setelah itu menyusul Maklumat
Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 yang menetapkan bahwa para menteri
memegang tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, sistem pemerintah berubah
dari presidensial ke parlementer, tanpa mengubah sedikitpun UUD 1945. Secara
normatif hukum, kondisi ini tidaklah ideal dalam tatanan hukum nasional. Dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pada waktu itu, pertentangan elit
politik bangsa ini terutama mengenai cara mengukuhkan kemerdekaan atas Belanda
serta pertentangan ideologi, membuat Kabinet Sjahrir jatuh bangun dalam
perannya mengemban amanah pemerintahan.
Demi medudukan persoalan kemerdekaan
Indonesia atas Belanda, maka di lakukanlah proses diplomasi dengan Belanda melalui
Konferensi Meja Bundar yang merobah srtuktur tata negara dengan berlakunya
Konstitusi Republik Indonesia Seriakat (RIS) pada tanggal 27 Desmber 1945.
Namun, konstitusi ini hanya berlaku selama enam bulan. Kemudian pada tangga 17
Agustus 1946 atau bertepatan dengan satu tahun usia kemerdekaan Indonesia,
terjadi lagi perubahan srtuktur tata negara dengan di berlakukannya UDDS dan kemudian
pada tahun 1950 di keluarkannya Undang-Undang Fedral no. 7 tahun 1950 yang
menganut sistem pemerintahan parlementer liberal.
Dalam kurun waktu inilah terjadi
dinamika hukum di Indonesia, demi untuk mewujudkan ketertiban serta kepastian
hukum sebagai negara yang berdaulat. Namun, pada subtansinya tatanan hukum di
Indonesia tidak ada perubahan. Semua diawali dengan adanya Proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang menyatakan diri segabagai negara yang merdeka dari
segala macam bentuk penjajahan di muka bumi. Hingga saat ini, reformasi belum
bisa menjawab tantangan tersebut secara utuh. Masih banyak produk hukum kita
yang merupakan warisan kolonial Belanda. Dan mengenai penegakan serta
pembangunan hukum di Indonesia saat ini masih perlu kita benahi. Negara yang
demokratis ini, menurut saya belum layak nuntuk dikatakan sebagai negara hukum
yang utuh, yang memberikan kedaulatan hukum (Nomokrasi) serta kepastian hukum pada segenap rakyat Indonesia.
- Landasan Filosofis
a. Definisi Filsafat
Sebagai instrumen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita,
hukum tentunya tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan masyarakat kearah yang
lebih baik. Maka dari itulah, hukum di harapkan mampu mengarahkan atau
merekayasa kemana arah peradaban yang hendak di tuju oleh negara. Tidak
semata-mata tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi atau keinginan masyarakat
tanpa ada kontrol dari negara.
Seiring dengan perkembangan zaman, kajian-kajian kritis tentang hukum
nasional kitapun terus berkembang. Dan filsafat hukum menjadi salah satu objek
kajian filosofis tentang hukum.
Kata
“filsafat” berasal dari bahasa Yunani: philein (mencintai) dan sophia
(kebijaksanaan). Jadi, secara etimologis filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan. Pythagoras, salah satu murid Plato, memahami sophia sebagai
“pengetahuan hasil kontemplasi” untuk membedakannya dari keterampilan praktis
hasil pelatihan teknis yang dimiliki dalam dunia bisnis dan para atlet. Dengan
demikian, dalam belajar filsafat kita berusaha mencari pengetahuan atau
kebenaran dan bukan pengetahuan dalam arti keterampilan praktis. (Andre Ata
Ujan, 2009: 17).[4]
Menurut Prof. Johni Najwan, S.H.,M.H.,Phd.D berfilsafat adalah mencari sesuatu
yang ideal.[5]
Dari dua
esensi tentang pengertian filsafat tadi dapatlah kita simpulkan bahwa
berfilsafat merupakan langkah awal dalam sebuah penemuan-penemuan tentang
kebenaran yang ideal, tidak hanya sebatas berfikir radikal untuk mencari
kebenaran yang di anggap hilang atau memang tidak ada sama sekali.
Maka dari
itulah perdebatan antara filsafat dan ilmu mana yang lebih dahulu hadir sebagai
landasan pembenaran samapai saat ini masih terjadi. Kalau mengacu pada apa yang
di katakan oleh Scholten bahwa “filsafat adalah ilmu rasional tertua dari
pemikiran rasional yang bersifat pengetahuan dan dapat mempertanggunng jawabkan
diri sendiri”. Tentulah semakin sulit untuk kita menemukan manakah yang lebih
dulu antara filsafat dan ilmu. Karena Scholten menyebutkan bahwa filsafat
adalah “ilmu rasional tertua”, artinya Scholten menyatakan dalam bentuk
keterangan bahwa Filsafat adalah ilmu. Tidak di pisahkan mana yang lebih dahulu
lahir. Agak sedikit berbeda atas meditasi yang di lakukan oleh Herman
Bakir,S.H,M.H yang berimajinasi tentang
“berapa sebenarnya usia Ilmu Hukum, mengapa ia harus lebih tua dari Filsafat
Hukum” di tuangkan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Hukum.[6]
Herman Bakhir secara tidak langsung telah mengatakan bahwa Ilmu lebih dahulu
dari pada Filsafat. Saya tidak membenarkan ataupun menyalahkan apa yang telah
di renungkan oleh Herman Bakir, yang jelas Herman Bakhir pada waktu meditasinya
telah berfilsafat dengan baik.
Menurut saya
pengalaman empirislah yang menjadi faktor kita mengawali untuk berfilsafat atau
berilmu filsafat. Saya sepakat dengan gerakan empirisme yang merupakan aliran
dari filsafat untuk kemudian menganggap bahwa pengalaman merupakan sarana yang
dapat di percaya untuk memperoleh kebenaran. Gerakan ini di pelopori oleh Jhon
Lock (1632-1714) dan David Home (1711-1776).[7]
Dan tentang perdebatan antara filsafat dan ilmu, manakah yang lebih dahulu
lahir di perlukan kajian historis yang mendalam dengan menemukan fakta-fakta
empiris. Kerena empirisme merupakan sarana yang dapat di percaya untuk
menemukan kebenaran.
b.
Filasafat Hukum.
Setelah
mengamati pengertian tentang filsafat di atas, maka jelaslah bahwa filsafat
hukum bukan cabang dari ilmu hukum. Melainkan cabang dari ilmu filsafat yakni
filsafat hukum. Namun, dalam ilmu hukum pengetahuan tentang filsafat hukum
amatlah penting untuk sebuah penemuan, penerapan, serta penegakan hukum.
Filsafat hukum bukan sesuatu yang sulit untuk di pahami, sebagaimana kita
memahami atau merenungkan tentang pengertian filsafat.
Menurut
Prof. Dr. D.H.M Meuwissen guru besar Universitas Gronigen Belanda. Filsafat hukum
adalah filsafat. Oleh karena itu, ia merenungkan semua masalah fundamental dan
masalah yang termarginalkan yang berkaitan dengan gejala hukum. Sedangkan
menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H. (2000: 48) memberikan definisi
filsafat hukum sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan
mendasar dari hukum. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Dikemukakan
dalam ilmu ini tentang dasar-dasar kekuatan mengikat dari hukum.[8]
Dari
pengertian filsafat hukum di atas, jelaslah bahwa filsafat hukum bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk di
lakukan. Kita di tunutut hanya untuk merenungkan persoalan-persoalan
fundamental atau merginal dalam kehidupan sosial yang menimbulkan gejala hukum.
Maka ketika kita telah melakukan perenungan tersebut seketika itu juga kita
telah dapat di katakan sedang berfilsafat hukum.
Setelah
memahami tentang esensi dari filsafat hukum, maka berfilsafat hukum tentulah
dapat di katakan sangat berkaitan dengan hukum sebagai sarana pembangunan dan
pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering). Tentang bagaimana mewujudkan Social
Engineering (Rekayasa Sosial), telah
di kemukakan oleh Recoe Pond (1870-1964).[9] Rescoe
Poun menyatakan bahwa hukum adalah sebagai alat untuk membangun masyarakat.
Namun, dengan membuat penggolongan atas kepentingan yang harus di lindungi,
yakni kepentingan umum (Public Interest),
kepentingan sosial (Social Interest),
dan kepentingan masyarakat (Privat
Interst).
Dari tiga pengelompokan oleh Rescoe Pound di atas dapatlah kita renungkan
tentang hukum nasional kita. Apakah telah sesuai dengan apa yang di katakan
oleh Rescoe Pound, yakni hukum dapat melindungi kepentingan masyarakat secara
umum, dapat melindungi kepentingan negara, dan dapat melindungi kepentingan
pribadi sebagai warga negara.
Menurut saya apa yang di sampaikan oleh Rescoe Poun belum sepenuhnya
terwujud dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Terbukti masih
banyaknya konflik horozontal mapun vertkal mengenai gejala sosial yang bermuara
pada gejala hukum, kemudian muncul di
tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita, sehingga mengganggu laju
pembangunan bangsa dan negara.
Apa yang telah di kemukakan oleh Rescoe Poun sudah seharusnya menjadi
solusi bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat Indonesia saat ini. Hukum
yang Identik dengan kepentingan penguasa sering kali mengabaikan kepentingan
masyarakat, baik secara umum maupun pribadi. Kondisi hukum di Indonesia saat
ini amatlah memprihatinkan, permasalahan hukum timbul dari sudut pandang
manapun. Di lihat dari sudut pandang Teori dan Politik Hukum, produk hukum kita
cenderung pada kepentingan kekuasaan. Produk hukum kita yang sering kali di
terpa isu hukum yakni konflik norma, kekaburan norma dan kekosongan norma,
membuat hukum kita tidak lagi mampu menjadi alat untuk membangun masyarakat.
Belum lagi di lihat dari segi penerapan serta penegakannya yang amburadul,
dalam hal penegakan dan penerapan hukum seharusnya dapat menjadi tumpuan
terwujudnya tujuan hukum yakni kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan
ketertiban, bukan malah menjadi alat untuk mencidrai tujuan hukum itu sendiri.
Sehingga kedaulatan hukum di pertaruhkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara di alam demokrasi ini.
Proses demokrasi di Indoesia tidak dapat berbanding lurus dengan proses
nomokrasi kita. Seharusnya proses demokrasi kita yang merupakan buah dari
sebuah gerakan reformasi, dapat menjadi landasan untuk kita memberikan
kedaulatan hukum sebagai alat pembangunan masyarakat. Sebagaimana apa yang menjadi
tuntutan reformasi, yakni:
1. Amandemen UUD 1945
2. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
3. Penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN
4. Otonomi Daerah
5. Kebebasan pers.
Dalam tuntutan reformasi tersebut memang ada beberapa point yang telah di
laksanakan. Namun, menurut saya belum sampai pada subtansi dari tuntu reformasi
itu sendiri., yang pada intinya menginginkan keadilan, ketertiban, dan
kepastian hukum sehingga terwujudlah masyarakat yang adil dan makmur. Persoalan
HAM dan KKN yang sampai hari ini masih menjadi persolan besar bagi bangsa
Indonesia yang tak kunjung usai bahkan telah menjadi tumor ganas bagi bangsa
ini yang sangat sulit untuk di berantas. Hukum tidak mampu menujukan power
kedaulatannya dalam hal pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan persoalan HAM.
Sebagai contoh; UU No.39 Tahun 2009 Tentang HAM dan UU No 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan HAM yang telah memiliki kekuatan konstitusional pada amandemen ke-2
UUD 1945 ternyata dalam penegakannya masih saja tidak maksimal. Begitu juga
dengan Tindak Pidana Korupsi.
Bangsa ini memiliki semangat yang tinggi untuk lepas dari Tidak Pidana
Korupsi, ini terbukti banyaknya lembaga-lembaga yang di bentuk untuk mengatasi
masalah tersebut.
Berikut enam
lembaga negara yang pernah di bentuk dan berhubungan dengan tindak pidana
korupsi .[10]
1.
Tim Pemberantasan Korupsi
Tim
ini dibentuk tahun 1967 melalui Keppres No.228/197 tanggal 2 Desember 1967 yang
bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi (pencegahan dan penindakan)
2.
Komisi Empat (Januari-Mei 1970)
Dibentuk
melalui Keppres No. 12/1970 tanggal 31 Januari 1970 yang bertugas menghubungi
pejabat atau instansi, swasta sipili atau militer, memeriksa dokumen
administrasi pemerintah dan swasta, meminta bantuan aparatur pusat dan daerah. Selain
Komisi Empat, Keppres yang sama juga membentuk Komite
Anti Korupsi yang masa kerjanya hanya 2 bulan dengan tugas mengadakan
kegiatan diskusi dengan pemimpin partai politik dan bertemu presiden.
3.
Operasi Penertiban (1977-1981)
Dibentuk
melalui Inpres No. 9/1977 dengan tugas pembersihan pungutan liar, penertiban
uang siluman, penertiban aparat pemda dan departemen.
4.
Tim Pemberantas Korupsi (1982)
Tim
Pemberantas Korupsi ini dihidupkan kembali tanpa dikeluarkannya
Keppres baru.
5.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (1999)
Dibentuk
melalui Keppres No. 27/1999 dengan tugas melakukan pemeriksaan kekayaan
pejabat negara. Lembaga ini kemudian menjadi sub bagian pencegahan dalam
Komisi Pemberantasan Korupsi.
6.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001)
Dibentuk
melalui PP 19/2000 dengan tugas mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang sulit
ditangani Kejaksaan Agung. Berdasarkan putusan hak uji materiil (juducial review)
Mahkamah Agung, TGPTPK terpaksa bubar.
Dari kesekian banyak lembaga yang telah di bentuk untuk mengatasi Tindak
Pidana Korupsi termasuk lambaga KPK yang memiliki kewenangan luar biasa,
ternyata juga belum mampu menyelamatkan bangsa ini dari perangkap korupsi.
Mungkin inilah sebagian contoh bahwa sistim hukum kita lebih cenderung pada
pembentukan hukum, bukan pada penegakan hukum. Seperti apa yang di kemukakan
oleh Prof. D r. Jimly Asshiddiqie,SH dalam bukunya “Menuju Negara Hukum Yang
Demokratis.
Sebagai negara hukum, hukum hendaknya di lihat sebagai satu kesatuan
sistim yang terintergritas dan saling berhubungan. Meskipun pengertian negara
hukum dalam UUD 1945 menurut saya sangat subyektif. Bila dalam berbangsa
pembuatan hukum cenderung lebih dominan dari pada penegakan hukum, maka hukum
akan mengalami ketimpangan dalam membangun masyarakat dan negara.
Hukum sebagai satu kesatuan sistim, maka di dalamnya terdapat elemen
kelembagaan, elemen kaidah, elemen perilaku para subyek hukum yang menyandang
hak dan kewajiban yang di tentukan oleh norma/aturan. Ketiga elemen sistim
hukum tersebut mencakup 1) Kegiatan pembuatan hukum, 2) pelaksanaan atau penerapan hukum 3) kegiatan
peradilan atas pelanggaran hukum. Biasanya kegiatan ini di sebut sebagai
kegiatan penegakan hukum. Selain itu ada pula kegiatan yang sering di lupakan
orang , yaitu 4) pemasyarakatan dan pendidikan hukum, dan yang terakhir adalah
5) kegiatan pengelolaan informasi hukum sebagai kegiatan penunjang.[11]
Prof. Jimly menjelaskan bahwa keseluruhan dari kegiatan diatas di
jalankan melalui tiga fungsi kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Dalam keseluruhan komponen, elemen, hirarki dan aspek-aspek yang
bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup
pengertian sistim hukum yang harus di kembangkan dalam kerangka Negara Hukum
Indonesia berdasarkan UUD 1945.
Jelaslah bahwa, ketiga fungsi lembaga kekuasaan tersebut diatas harus
berperan aktif dan bertanggung jawab dalam menjadikaan hukum sebagai alat
pembangunan serta pembaharuan masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat, budaya
hukum yang baik harus tumbuh danj berkembang di tengah kehidupan bermasyarakat.
Sehingga negara hukum yang tertuang dalam UUD 1945 dapat benar-benar terwujud
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
- Landasan Teoritis
Hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat (Law As A Tool Of Social Engineering) merupakan teori yang di
kemukakan oleh Rescoe Pound. Oleh Rescoe Pound hukum di harapkan dapat
merekayasa dan mempengaruhi masyarakat. Tidak hanya sekedar tumbuh dan
berkembang secara alami dalam kehidupan
bermasyarakat.
Namun, lain lagi dengan apa yang di kemukakan oleh Von Savigny yang
mengatakan bahwa “ hukum berubah jika masyarakatnya berubah”.[12] Teori
ini sepintas terkesan membiarkan hukum tumbuh dan berkembang secara alami di
tengah kehidupan masyarakat. Namun, sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum
itu di pengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luarnya termasuk oleh sub sistem
politiknya.
Teori hukum merupakan
landasan teoristis dalam proses pembuatan hukum. Kajian teori hukum lebih pada
hukum sebagai proses, bukan hukum sebagai produk. Proses yang di maksudkan,
bisa saja proses pembuatan hukum yang ideal, dan proses penegakan hukum yang
ideal. Pada proses pembuatan hukum nasional kita, teori hukum di interpretasikan kedalam politik hukum kita yang mengandung rechts
idea tentang keadilan serta perlindungan terhadap segenap rakyat Indonesia.
Sebagai bangsa yang multi etnik, pembentukan serta penegakan hukum
nasional kita tentulah tidak mudah untuk di lakukan. Banyak faktor yang harus
di pertimbangkan agar hukum dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat,
misalnya faktor budaya, suku, ras, Agama dan lain-lain. Maka, dalam pembentukan
hukum hendaknaya hukum yang di bentuk adalah pruduk hukum yang responsif, yakni
hukum yang dapat merespon setiap kepentingan masyarakat.
Dalam pembentukan hukum yang responsif ada empat syarat mutlak yang harus
terpenuhi, yakni :[13]
1.
Dalam
penbentukan hukum harus mengikut sertakan masyarakat.
2.
Pembentukannya
haruslah aspiratif. Artinya, norma-norma yang di rumuskan haruslah norma yang
merupakan aspirasi dari masyarakat.
3.
Pembentukannya haruslah bersifat komunikatif.
Artinya, hukum haruslah dapat di pahami dalam bahasa yang dapat dipahami dalam
interaksi antar warga negara dengan negara (penguasa)
4.
Pembentukannya
haruslah bersifat antisipatik. Norma yang di rumuskan dalam aturan harus dapat
mengantisipasi munculnya konflik di tengah masyarakat.
Menurut saya, produk hukum yang responsiflah yang dapat di jadikan sarana
untuk membangun masyarakat. Namun, dalam prakteknya produk hukum kita jauh dari
produk hukum yang responsif. Kebanyakan produk hukum kita bersifat represif.
Banyak Undang-Undang yang di bentuk berpihak pada kepentingan penguasa dalam
melanggengkan kekuasaannya. Contohnya UU tentang Partai Politik, UU Ormas, dan
lain-lain.
Penbentukan hukum yang responsif tidaklah mudah untuk di lakukan di
tengah keberagaman karakter masyarakat Indonesia. Namun, kita harus tetap
optimis dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan
masyarakat. Dengan ideologi Pancasila, dan amanat konstitusi kita UUD 1945
seharusnya kita telah dapat menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan dan
pembangunan masyarakat. Namun, dalam prakkteknya hukum kembali tunduk dengan
penguasaan atas kepentingan politik penguasa.
Persoalan dalam pembentukan hukum jelas akan berimbas pada proses
penegakan hukum. Kalo melihat penegakan hukum di Indonesia saat ini, menurut
saya kita belum pantas di katakan sebagai negara yang berdaulat dalam hukum.
Dalam hal penegakan hukum, bangsa ini selalu mengalami persoalan diskriminatif
terhadap keadilan yang merupakan tujuan hukum. Seharusnya proses penegakan
hukum merupakan instrumen penting dalam hal mencapai tujuan hukum, yakni
kepastian hukum yang bermuara pada keadilan dan ketertiban.
Dalam penegakan hukum Friedman
dalam teorinya “ Three Elements Of Legal
System” mengemukakan bahwa ada tiga unsur yang sangat menentukan dalam
penegakan hukum, yakni[14] :
1.
Legal
Structure (Pranata Hukum)
2.
Legal
Subtance (Subtansi Hukum)
3.
Legal
Culture (Budaya Hukum)
Legal
Subtance
Legal Structure Legal culture
Ketiga elemen yang di maksudkan oleh Friedman adalah saling
ketergantungan dalam hal agar hukum dapat di tegakkan. Budaya hukum yang baik,
subtansi hukum atau produk hukum yang baik, serta pranata hukum yang baik
menjadi syarat agar hukum dapat di tegakkan dengan baik.
Namun, menurut saya teori yang di kemukakan oleh Friedman ini sulit untuk
di terapkan di Indonesia yang heterogen ini. Harapan agar hukum tetap dapat di
tegakkan dengan ideal di Indonesia masih tetap ada. Menurut Prof. Johni Najwan
dari ketiga elemen yang di kemukakan oleh Friedman tersebut, kita bisa fokus
pada pranata hukumnya, “jika pranata hukum kita baik, maka kita sudah bisa baik
dalam hal penegakan hukum, meskipun suntansi dan budaya hukum kita kurang
mendukung”.
Saya sepakat dengan apa yang di kemukakan oleh Prof. Johni Najwan. Dengan
alasan kalo budaya hukum yang tumbuh di tengah masyarakat kita sangat sulit
untuk di deteksi, yang kemudian untuk kita jadikan sebagai sebuah kesatuan
budaya hukum yang harus kita patuhi. Begitu juga dengan subtansi hukum kita.
Dengan keberagaman etnik, tentulah tidak mudah membuat produk hukum yang ideal
atau responsif sebagai satu kesatuan kepentingan dalam hukum.
Banyaknya sistem hukum yang menjadi sumber pembentukan hukum di Indonesia
membuktikan bahwa Indonesia kaya dengan khasanah ilmu hukum. Namun, kesemua
sistem yang ada haruslah dapat di terapkan sesuai dengan amanat konstitusi UUD
1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Meskipun pengertian negara hukum
dalam UUD 1945 kita terkesan sangat subyektif.
Dalam hal pembentukan hukum, produk hukum hendaknya dapat melindungi
segala macam bentuk kepentingan, termasuk kepentingan pribadi warga negaranya.
Bila kita benturkan dengan kajian teologis tentang manusia, bahwa manusia di
ciptakan sederajat dengan manusia yang lainnya. Yang membedakan manusia yang
satu di hadapan Tuhannya adalah amalan selama perjalanan hidupnya di muka bumi,
bukan pada saat kelahirannya di muka bumi. Ketika kelahiran manusia di muka
bumi, mereka memiliki kesamaan status, yakni fitrah. Sebagai makhluk yang sederajat, manusia juga
memiliki hak dan kewajiban yang sama antara manusia satu dengan yang lainnya.
Seiring dengan perjalan waktu, manusia tumbuh dan berkembang sebagai
makhluk sosial. Di katakan sebagai makhluk sosial tentulah bukan sebagai
makhluk individualistik. Namun , persolan persamaan derajat tetap berlaku dalam
interaksi sosialnya sebagai makhluk sosial.
Dalam hal manusia hidup di tengah komunitas sosial, ini menunjukkan bahwa
manusia tidak bisa hidup sendiri. Ketika telah berbaur dalam sebuah komunitas
sosial, persoalan persamaan derajat yang awalnya sangat individualistik ketika
manusia itu lahir (fitrah). Namun, ketika telah menjadi makhluk sosial yang
selalu dalam interaksi sosial dalam komunitasnya, persoalan persamaan derajat
dalam kapasitas sebagai makhluk sosial tentulah harus di maknai sebagai hak
untuk saling menghargai tanpa diskiminatif, atau di sebut dengan Hak Azasi
Manusia.
Dalam komunitas sosial, manusia secara individual tetap ingin menjaga hak
kesederajatannya dalam menggapai tujuan hidup dengan manusia lainnya. Namun,
dalam prakteknya manusia tetap saja tidak bisa mewujudkan apa yang di inginkan
dalam hidupnya secara individualistik. Akhirnya, munculah struktur sosial yang
membutuhkan kekuasaan untuk mengatur interaksi sosial manusia.
Kekuasaan tersebut jelas dalam bentuk bagan yang terorganisir. Kekuasaan
dalam bentuk organisasi dapat di peroleh berdasarkan legitimasi religius,
legitimasi ideologis eliter, ataupun legitimasi pragmatis yang didasarkan pada
sumber kekuasaan tertinggi atau kedaulatannya. Namun, menurut Prof. Dr. Jimly
Ashiddiqie, S.H “kekuasaan berdasarkan
legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan
kesederajatan menusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok
manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan pada
ketida legitimasi tersebut akan menjadi kekuatan yang obsolut, karena asumsi
dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang
secara istimewa dan lebih tahu dalam hal menjalankan kekuasaan negara.
Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legtimasi tersebut bisa dipastikan
akan menjadi kekuasaan yang otoriter”. Menurut Prof. Jimly, konsepsi
demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia.
Saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Jimly, namuan
dengan ketentuan bahwa demokrasi harus benar-benar dapat menjadi wadah
keadulatan rakyat secara utuh.Tidak hanya sekedar berdemokrasi dalam politik,
tapi lebih dari itu, kita juga mampu berdaulat dalam hukum sebagai suatu
kesatuan sistem negara hukum kita. Sehingga, barulah kita bisa menjadikan hukum
sebagai sarana unutk pembangunan dan pembaharuan masyarakat.
Dalam berdemokrasi, kedaulatan tentunya berada tangan rakyat. Demokrasi
hendaknya dapat di praktekkan dalam kedaulatan hukum, hukum sebagai panglima
bagi rakyat. Karena berdemokrasi adalah wadah untuk menampung aktivitas dari
interaksi sosial, dan demokrasi dapat di jadikan sarana untuk menentukan siapa
yang akan menjadi pengurus dari struktur sosial yang ada (negara). Namun sangat
di sayangkan, dewasa ini hukum tidak di beri ruang untuk dapat mengatur
interaksi sosial di atas norma-norma yang ada. Sehingga, demokrasi terkesan
berjalan sendiri tanpa arah. Yang jelas, dalam rangka pembanguan dan
pembaharuan masyarakat. Saya sepakat dengan apa yang di sampaikan oleh Prof.
Jimly bahwa dalam negara hukum, yang seharusnya memerintah adalah hukum, bukan
manusia. Maka dari itulah, negara hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi merupakan konsekuansi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud dari perjanjian sosial
tertinggi.[15]
Jadi, jelaslah bahwa antara demokrasi dan kedaulatan hukum (Nomokrasi) tidak dapat di pisahkan. Apa
lagi sebagai negara hukum, hukum tentunya di harapkan dapat menjadi sarana
untuk kemajuan demokrasi kita. Kerena demokrasi merupakan salah satu wadah bagi
hukum untuk dapat berperan sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan
masyarakat.
E.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapatlah
kita ambil kesimpulan bahwa kedudukan hukum kita saat ini tidak sedang berada
pada posisi idealnya, sesuai dengan idealnya landasan filosofis dan teoritis.
Namun, sebagai negara hukum yang berdaulat, dengan kemajemukan etnis, suku, dan
ras yang kita miliki, kedudukan hukum
kita lebih di tunjukkan oleh suatu sistem hukum yang terintegrasi dan saling
berhubungan dalam sebuah hirraki sebagai negara hukum.
Dalam prakteknya sebagai
negara hukum, Indonesia terkesan lebih serius dalam pembentukan hukum dari pada
penegakan hukum. Hal ini tentulah di pengaruhi oleh banyaknya sistem hukum yang
mempengaruhi pembangunan hukum di Indonesia. Bangsa kita mengalami kesulitan
dalam membentuk sebuah kesatuan budaya hukum yang benar-benar dapat melindungi
segenap rakyatnya. Ini tentunya di pengaruhi oleh kemajemukan budaya yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia. Sehingga dalam pembentukan hukum yang
responsif serta aspiratif selalu menemukan kendala, baik dalam pembentukannya
ataupu dalam penegakannya.
Bangsa ini menurut saya
memerlukan perhatian khusus dalam hal penergakan hukum dari produk hukum yang
telah di buat. Seperti apa yang di kemukakan oleh Friedman dalam teorinya Three
Elements Of Legal System bahwa dalam penegakan hukum hendaknya kita
memiliki budaya, suntansi, serta pranata hukum yang baik. Namun, dalam
prakteknya di Indonesia ini tetulah tidak mudah untuk di laksanan secara utuh.
Menurut Prof. Johni Najwan bila pranata hukum kita sudah baik, maka penegakan
hukum kita sudah bisa berjlan dengan baik, meskitupn kita memiliki budaya dan subtansi
hukum yang kurang mendukung. Dan saya sepakat dengan pendapat ini. Bangsa
Indonesia menurut saya saat ini membutuhkan moral para penegak hukum dalam
menegakan hukum, terutama dalam hal menjadikan hukum sebagai sarana pembaharuan
dan pembangunan masyarakat.
Dalam hal menjadikan hukum
sebagai sarana untuk pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Hukum di harapkan
dapat melindungi segenap kepentingan rakyatnya. Baik kepentingan umum, sosial,
dan pribadi warga negaranya. Begitu juga dalam pembentukan hukumnya, hendaknya
produk hukum yang responsif benar-benar dapat di wujudkan dalam satu sistim
negara hukum kita.
F.
Saran
Dalam upaya mewujudkan
tatanan hukum yang baik sebagai negara hukum, dan menjadikan hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat. Menurut saya sudah saatnya kita harus
memikirkan tentang budaya hukum kita untuk masa yang akan datang. Suatu budaya
hukum yang tumbuh dalam kesatuan sistim negara hukum.
Untuk itulah pendidikan
tentang ilmu hukum menurut saya harus di berikan sedini mungkin bagi warga
negara. Pendidikan hukum secara khusus sudah harus di masukan dalam kurikulum
pendidikan kita. Ini menurut saya sudah mutlak harus dilakukan sebabai negara
hukum. Agar kedepan akan tumbuh budaya sadar hukum yang baik dari masyarakat
kita.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie. Menuju Negara
Hukum Yang Demokkaratis. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.2009
Herman
Bakhir.Filsafat Hukum.PT. Refika
Aditama. Bandung.2009
Johni
Najwan.Bahan Ajar Filsafat Hukum UNJA
Program Studi Magister Ilmu Hukum.2012
Sudikno
Mertokusumo, Sejarah Peradilan Dan
Perundang-undangannya di Indonesia sejak tahun 1942 Dan Apakah Kemanfaatanya
bagi kita bangsa Indonesia. Yogyakarta. Universitas Atmajaya.cet.V.2011
Benard Arif Sidharta.Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandiri
Maju. 2009
Kumpulan
undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi. Edisi pertama. 2006.
Artikel
Herdiansyah Hamzah. Membongkar
Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia.
Fesdiamon
.Makalah Sejarah Lahirnya UU NO 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.2012
Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesi .
http://0sprey.wordpress.com/2011/08/22/mewujudkan-hukum-sebagai-sarana-social-engineering-di-indonesia/
[2] Sudikno
Metokusumo.Sejarah Peradilan Dan
Perundang-Undangannya Di Indonesia Sejak Tahun1942 Dan Apakan Kemanfaatannya
Bagi Kita Bnagsa Indonesia. Hal : 41
[4]
http://0sprey.wordpress.com/2011/08/22/mewujudkan-hukum-sebagai-sarana-social-engineering-di-indonesia/
[5] Pertemuan Kuliah
Filsafat Hukum pada hari senin 2 April 2012.
[8]
http://0sprey.wordpress.com/2011/08/22/mewujudkan-hukum-sebagai-sarana-social-engineering-di-indonesia/
[10] Fesdiamon. Sejarah Lahirnya Komisi Pemberantasan
Korupsi. Makalah Sejarah Hukum.
[11] Prof. Dr.Jimly
Asshiddiqie,S.H.Menuju Negara Hukum Yang
Demokratis.Hal : 3
Langganan:
Postingan (Atom)