Jabatan
Politik Bukan Lapangan Pekerjaan
Oleh: FESDIAMON
Bung Karno, pada 17 Agustus 1964, dalam pidatonya yang
berjudul “Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun Menyerempet Bahaya), menyebutkan
tentang sumber ancaman revolusi. Ia menuding kekuatan reaksioner dan apa yang
diistilahkannya dengan “setan multiparty sistem” sebagai salah satu sumbernya.
Pada dasarnya, Bung Karno tidaklah membenci partai politik karena partai
politik telah banyak berjasa dalam mempersiapkan dan mengemban tujuan revolusi.
Namun, kata Founding Father itu: “Yang
tidak aku sukai adalah praktik-praktik yang menunggangi partai-partai politik
untuk memperkaya diri atau untuk melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan yang
lobatama.”
Apa yang dikatakan Bung Karno puluhan tahun silam itu
sepertinya masih terjadi pada kondisi bangsa kita dewasa ini. Partai yang
menjamur (multiparty sistem) saat ini sering dimanfaatkan untuk memuaskan
syahwat kekuasaan dan libido politik belaka bagi orang-orang tidak memahami arti
sebuah ideologi perjuangan: mereka tidak paham dengan hakikat dan fungsi partai
politik dan jabatan politik. Parpol dan jabatan politikdianggap jembatan untuk
memperkaya diri pribadi. Bahkan, jabatan-jabatan politik seperti presiden, DPR,
kepala daerah, sebagai lembaga terhormat dan mulia itu sudah dianggap sebagai “lapangan
pekerjaan baru”.
Sehingga, di musim pemilu, kita melihat
jabatan-jabatan itu diserbu oleh para pencari kerja dan para pemuda-pemuda yang
sedang menganggur—termasuk para pensiunan-pensiunan yang tak mampu lagi
berkarya di tengah-tengah masyarakat. Memang, hal itu tidaklah salah
kalausemangatnya untuk perjuangan. Tapi, fakta sosial yang kita lihat hari ini,
motifnya bukan perjuangan, tapi godaan materi, fasilitas mewah, dan kekuasaan
yang menggiurkan, bukan untuk memperjuangkan cita-cita sosial.
Tujuan
mulia politik
Di awal reformasi pasca tumbangnya Orde Baru 1998,
harapan rakyat sangat besar kepada partai politik dan para tokoh politik untuk
melakukan transformasi atau perubahan-perubahan sosial yang besar dan mendasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun, setelah beberapa
tahun berjalan, harapan dan cita-cita itu masih sebatas utopia. Harapan rakyat
kepada parpol dan aktivis-aktivis politik untuk melakukan perjuangansosial
masih jauh panggang dari api. Malah,yang terjadi sebaliknya: parpol dan tokoh
politik sudah menjadi bagian dari masalah bangsa itu sendiri. Sehingga, saat
ini banyak masyarakat yang kecewa, bahkan apatis dengan parpol maupun para
politisi. Suatu keadaan yang sangat disayangkan.
Berbagai kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan yang dilakukan oleh banyak politisi yang notabene-nya adalah
orang-orang parpol sebagaimana yang diberitakan di banyak media massa,
benar-benar membuat miris. Parpol yang menjadi tumpuan harapan dari masyarakat
demokrasi ternyata banyak melakukan hal-hal yang memperkosa nilai-nilai
demokrasi dan keadilan sosial itu sendiri. Dengan dibukanya kran demokrasi pada
1998 silam, masyarakat Indonesia mengalami euphoria politik. Kebebasan yang
dikekang selama bertahun-tahun, akhirnya dapat diekspresikan dalam berbagai
bentuk, termasuk tindakan-tindakan amoral sekalipun.
Goenawan Mohamad, yang dikenal dengan inisial GM, dalam “Catatan Pinggir”-nya di Majalah Tempo, menulis: sejak kediktaturan jatuh di Indonesia, demokrasi
berbaur dengan kekecewaan dan politik kehilangan apa yang disebut Vaclav Havel
“sebuah tanggungjawab yang lebih tinggi.” Tiap kali menyaksikan itu, kata GM,
terngiang kembali kata-kata Reinhold Niehbur: “Tugas sedih politik adalah
menegakkan keadilan di dunia yang berdosa”. The
sad duty of politics is to establish justice in a sinful world. Apa yang
dimaksud GMtidak lain adalah fenomena politik di Indonesia yang bermoral
rendah. Buya Safii Maarif membuat istilah: “politisi tuna moral”, yaitu
mereka-mereka yang menghalalkan segala cara dan memanfaatkan suara rakyat untuk
memperkaya diri dan keluarga. Mereka tak mengerti sama sekali dengan persoalan
ideologi dan cita-cita sosial yang luhur.
Padahal, kata GM, politik bukan cuma usaha menghimpun
dan menggunakan kekuasaan. Tujuan politik mestinya mulia dan luhur. Politik
adalah pergulatan untuk keadilan, atau kesetaraan, yang berlangsung terus
menerus. Rancière, kata GM, menyebutnya la
politique. Havel menyebutnya sebagai sebuah “tanggungjawab” (atau, seperti
yang dikutip di atas: “tanggungjawab yang lebih tinggi”) yang dinyatakan dengan
tindakan. Tindakan itu ditujukan kepada “keseluruhan” dan bagi “keseluruhan”.
Dengan kata lain, politik adalah pergulatan, bukan untuk kepentingan diri
sendiri.
Itu sebabnya Havel, kata GM, mempertautkannya dengan
sesuatu yang lebih dalam: panggilan moral. Politik sangat berbahaya jika
dipisahkan dari moral. Politik menurut Havel, harus punya “landasan metafisik”:
yang dimulai dengan kesadaran atau kesetengah-sadaran bahwa kematian bukanlah
akhir. Akan ada Hari Perhitungan. Akan ada penilaian dari Tuhan Sang Penguasa
Semesta terhadap segala aktivitas manusia, termasuk juga dalam urusan-urusan
politik.
Meneladani para pahlawan
Dalam pengamatan saya, terlalu banyak,
hari ini, politisi-politisi karbitan yang muncul dan membusungkan dada di
tengah masyarakat. Mereka hanya mengandalkan kekuatan modal. Mereka tak pernah
ditempa dengan matang di bawah idelogi perjuangan maupun organisasi-organisasi.
Terlalu banyak hari ini orang yang tak punya ideologi dan integritas moral yang
jelas, bisa tampil menduduki jabatan politik. Mereka bisa menjadi kepala daerah,
anggota-anggota parlemen, dan lain sebagainya. Sementara orang-orang yang mempunyai
kemampuan intelektual, idealisme, integritas moral, dan sejumlah
kualitas-kualitas personal lainnya, tidak lagi berarti jika dihadapkan face to facedengan mereka yang punya
uang, popularitas, dan silsilah keturunan hartawan, penguasa, dan selebritas.
Itu fakta saat ini. Artinya, yang
punya peluang besar untuk menduduki maupun mengakses jabatan politik di
legislatif dan eksekutif saat ini, sebagian besarnya adalah mereka-mereka yang
punya uang dan popularitas. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan jika saat ini
kalangan artis dan pengusaha lebih mudah meraih kedudukan politis ketimbang
anak bangsa yang punya idealisme dan kemampuan personal yang mumpuni.
Idealisme dan ideologi sepertinya tak lagi dianggap
penting sebagai bekal dalam berpolitik. Banyaknya praktek-praktek politik kotor
yang dilakukan para politisi-politisi dari berbagai parpol menunjukkan
dangkalnya ideologi yang dimiliki oleh kader-kader maupun politisi parpol. Banyak
politisi yang tak mengerti arti perjuangan. Mereka tak punya ideologi yang
bersifat progresif revolusioner. Mereka tak menyadari bahwa jalan hidup “pejuang
politik” itu adalah jalan yang penuh onak dan duri, yang menuntut kesiapan
untuk berani menghadapi segala bentuk tantangan dan penderitaan.
Parpol dan jabatan politikhakikinya adalah “jalan
pejuang”, bukanjalan mencari kekayaan pribadi, prestise, kekuasaan, dan
kenikmatan-kenikmatan duniawi lainnya. Dan memang seperti itulah yang
diteladankan oleh para aktivis pejuang atau pahlawan bangsa inidi masa lalu seperti
Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Mohammad
Natsir, dan lainnya.Dan inilah, menurut saya,yang mesti dipahami kembali oleh
generasi muda hari ini. Generasi muda mestibelajar kembali pada para tokoh
pejuang di masa lalu, agar tak keliru dalam berpolitik dan berjuangdalam
mewujudkancita-cita sosial.
Mahasiswa
Magister Ilmu hukum UNJA, Aktivis Sosial dan Alumnus HMI
" TAKHLUK PADA KEBENARAN "