Selasa, 04 Desember 2012

Alternatif Penyelesaian Sengkata Aset Sungai Penuh dan Kerinci



Alternatif Penyelesaian Sengkata Aset Sungai Penuh dan Kerinci
Oleh : FESDIAMON

Pasca diundangkannya Undang-Undang 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, banyak persoalan yang muncul. Mulai dari persolan nama “Sungai Penuh” untuk kota otonom hasil pemekaran Kerinci, batas wlayah, personil pegawai negeri dan yang paling krusial adalah persoalan aset daerah baik yang bergerak maupun tidak bergerak termasuk BUMDnya beserta segala macam bentuk dokumen.
Bila mengacu pada amanat UU No. 25 Tahun 2008, persoalan aset diselesaikan oleh kedua kepala daerah ini dan difasilitasi serta dikoordinasikan oleh Gubernur Jambi. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan dalam UU No 25 Tahun 2008 persolan aset ternyata kedua kepala daerah ini tidak menyelesaikan persolan aset ini, maka Gubernur sebagai wakil Pemerintah berkewajiban untuk menyelesaikannya. Begitulah seharusnya apa yang diamanatkan UU No.25 Tahun 2008. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah pemerintahan daerah Kerinci dan Sungai Penuh telah menjalankan anamah UU No 25 Tahun 2008 dengan baik? Apakah Gubernur telah menjalankan tugasnya sebagai wakil pemerintah dengan baik dalam penyelesaian sengketa aset Sungai Penuh dan Kerinci? Jika melihat kondisi hari ini, maka dapat kita simpulkan bahwa tidak ada upaya yang seruis baik dari Pemerintah Derah Kerinci, Sungai Penuh maupun dari Gubernur Jambi untuk menyelesaikan persoalan ini.
Persoalan aset jelas semakin rumit jika dibiarkan berlarut-larut. Idealnya memang persoalan aset ini sebaiknnya diselesaikan sebelum Sungai Penuh memiliki Pemerintahan yang definitif, artinya ketika Sungai Penuh masih diurus oleh Penjabat Wali Kota yang ditunjuk pemerintah. Namun, kondisi hari ini adalah Sungai Penuh telah menjadi Pemerintahan yang definitif, jelas kewenangan Sungai Penuh sebagai daerah otonom sama dengan kewenangan Kerinci sebagai daerah otonom. Dalam persoalan aset yang bersengketa ini, jelas kedua daerah secara tersirat memiliki ego hukum sebagai daerah otonom untuk mempertahankan kedaulatannya. Disinilah letak kecolongan Gubernur sebagai wakil pemerintah dan pemerintahan Kerinci sebagai kabupaten induk yang lamban dalam menyelesaikan persolan aset Kerinci yang berkedudukan di Sungai Penuh, entah memang disengaja atau kekhilafan semata.
Dengan kondisi seperti ini, jelaslah bahwa ketiga kepala daerah ini yakni Gubernur, Bupati Kerinci, dan Wali Kota Sungai Penuh telah gagal dalam kepemimpinannya mengurus persoalan aset daerah. Maka dari itulah wacana tentang judicial review terhadap UU No 25 Tahun 2008 serta penggabungan kembali kedua daerah ini muncul sebagai bentuk keputusaaan dalam menyelesaikan sengketa aset.
Kita harus tetap optimis dalm menyelesaikan pesoalan aset ini dengan menempuh jalan non litigasi seperti mediasi. Mengingat Kerinci dan Sungai Penuh pada hakekatnya merupakan daerah satu rumpun dalam hukum adatnya. Alternatif penyelesaian sengketa yang dimaksudkan adalah melibatkan Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci dengan maksimal, mengingat posisi aset Kerinci yang berada di Sungai Penuh hari ini selain berada dalam lapangan hukum administrasi negara, aset daerah ini khususnya yang tidak bergerak juga berda diwilayah hukum adat Sakti Alam Kerinci. Maka saya menghimbau kepada Gubernur agar melibatkan Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci secara maksimal untuk ikut menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa aset daerah ini. Serta kepada Wali Kota dan Bupati Kerinci agar dapat duduk bersama dari hati ke hati sebagai warga hukum adat yang baik.

Jambi, 3 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar